Erdogan menggambarkan Macron sebagai "beban" bagi negaranya dan mengklaim Prancis berada dalam periode yang "gawat dan berahaya".
Erdogan Bahkan mengatakan dia berharap Prancis segera "menyingkirkan" timpalannya itu secepat mungkin.
Kecaman itu muncul setelah berbulan-bulan perselisihan antara kedua negara mengenai Suriah, mediterania, kebebasan berbicara yang menyeret Islamofobia, dan yang terbaru tentang konflik di wilayah Nagorno-Karabkah.
"Macron adalah beban bagi Prancis. Macron dan Prancis sebenarnya sedang mengalami periode yang sangat berbahaya," ujar pria berusia 66 tahun itu kepada wartawan setelah salat Jumat di Istanbul, seperti dikutip dari
AFP, Jumat (4/12).
"Harapan saya adalah Prancis menyingkirkan masalah Macron secepat mungkin," kata Erdogan.
Kedua negara saling bersilang pendapat tentang konflik Nagorno-Karabakh, dan keduanya memberi dukungan yang berlawanan dalam perang antara Armenia dan Azerbaijan atas wilayah sengketa di Karabah Atas (Artsakh).
Nagorno-Karabakh diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan tetapi selama ini berada dalam kendali Armenia.
Ankara memiliki pakta militer utama dengan sekutu dekatnya Azerbaijan, sementara Paris telah memihak Armenia dan menyerukan agar wilayah yang tidak memiliki kedaulatan itu diakui sebagai republik, Republik Artsakh.
Macron sebelumnya mengklaim Turki telah mengirimkan tentara bayaran Suriah dari kelompok jihadis melakukan perjalanan melalui Kota Gaziantep di Turki untuk bergabung dalam pertempuran di Nagorno-Karabakh.
Erdogan menegaskan agar Macron tidak ikut campur lagi terhadap persoalan di wilayah itu dan menyatakan statusnya sebagai mediator di kawasan itu sudah tidak berlaku.
Erdogan mengatakan, jika Prancis tidak menyingkirkan Macron, maka mereka tidak akan bisa melepaskan rompi kuning, mengacu pada gerakan protes yang dimulai di Prancis pada 2018.
“Rompi kuning nantinya bisa berubah menjadi rompi merah,†kata Erdogan.
BERITA TERKAIT: