Menarik untuk membaca pendapat Saskia Sassen, seorang profesor sosiologi di Columbia University, dan penulis beberapa buku termasuk
Expulsions: Brutality and Complexity in the Global Economy.
Dalam "Is Rohingya persecution caused by business interests rather than religion?" yang ditayangkan media Inggris,
The Guardian, pada Januari 2017, Saskia menelurkan pendapat bahwa agama dan etnisitas hanya bagian dari akar situasi konflik di Rakhine.
Saskia mengatakan, dua dekade terakhir ini telah terjadi peningkatan akuisisi perusahaan secara besar-besaran di seluruh dunia di bidang pertambangan, kayu, pertanian dan air. Dalam kasus Myanmar, militer telah menguasai hamparan tanah luas dari petani kecil sejak tahun 1990-an, tanpa kompensasi, namun dengan ancaman jika mereka mencoba untuk melawan.
Perebutan lahan ini terus berlanjut selama beberapa dekade namun telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Saat konflik meledak tahun 2012, lahan yang dialokasikan untuk proyek besar meningkat 170 persen antara tahun 2010 dan 2013. Pada tahun 2012 juga, UU yang mengatur tentang tanah diubah untuk mendukung akuisisi perusahaan yang besar.
Mungkinkah penganiayaan terhadap kelompok Rohingya (dan kelompok minoritas lainnya di dunia) lebih disebabkan oleh kepentingan ekonomi, bukan masalah agama atau etnis? Yang jelas, mengusir Rohingya dari tanah mereka memberi keuntungan untuk bisnis masa depan militer Myanmar.
Faktanya, Pemerintah Myanmar mengalokasikan 1.268.077 hektar tanah di wilayah Rohingya di Myanmar untuk pengembangan perusahaan. Ini cukup melonjak dibandingkan dengan alokasi formal pertama pada 2012, hanya seluas 7.000 hektar.
Ia menyebut, lebih dari sepertiga orang Rohingya terkonsentrasi di negara bagian Rakhine bagian barat, salah satu negara bagian Myanmar yang paling tidak berkembang tetapi dengan tanah berlimpah. Rohingya miskin, dengan lebih dari 78 persen rumah tangga hidup di bawah garis kemiskinan, menurut perkiraan Bank Dunia. Kemiskinan itu membuat mereka muda terusir untuk memberi ruang bagi proyek pembangunan
Namun, seperti biasa, fokus internasional pada konflik agama telah menutupi fakta perampasan tanah yang luas yang telah mempengaruhi jutaan orang, termasuk Rohingya.
Dua fakta utama menonjol mengenai konflik tanah ini. Misalnya, sejumlah besar petani Buddha juga telah terusir dari tanah mereka dalam beberapa tahun terakhir. Dan yang lainnya adalah fakta bahwa proyek ekstraksi kayu, pertambangan, dan air berskala besar menggantikan mereka yang digusur.
Kombinasi kondisi ini yang jarang disebutkan di media massa dan tidak hadir dalam diskusi agama. Fokus media global termasuk di Myanmar adalah latar kebencian religius.
Saskia menekankan lagi, perampasan tanah secara diam-diam telah diabaikan. Padahal, sebenarnya, militer telah mengambil alih tanah dari petani Buddha dan kelompok lainnya pada 1990-an.
Namun pada tahun 2012 terjadi perubahan UU yang meluas dan secara formal membuka pintu negara kepada investor asing. Pada tanggal 30 Maret 2012, majelis tinggi majelis rendah dan atas menyetujui revisi dua UU pertanahan: UU Pertanian dan Hukum Lahan Kosong. Ini adalah UU Penanaman Modal Asing baru yang mengizinkan 100 persen modal asing, dan masa sewa sampai 70 tahun. Dibandingkan dengan pertambangan, sektor pertanian masih memiliki beberapa batasan dalam investasi asing karena pemerintah mempromosikan usaha patungan dengan pengusaha lokal. Namun, perusahaan asing sering menggunakan perusahaan lokal sebagai proxy untuk investasi. UU Petani 1963 juga dibatalkan pada tahun 2012, padahal isinya melindungi petani kecil dan "hak anakan atas tanah", yang telah ada sejak era sosialis negara tersebut.
Memang diakuinya, pemberontakan petani kecil telah terjadi di seluruh dunia saat perusahaan besar mengambil alih tanah mereka, tidak peduli berapa lama mereka dan nenek moyang mereka menggarap tanah itu. Apa yang berbeda di Myanmar adalah kontrol yang hampir mutlak yang dimiliki militer di sebagian besar tanah negara, dan karenanya ada peran kunci mereka dalam pengusiran petani kecil
Dan, sejak investor asing memasuki negara tersebut, permintaan atas tanah telah menjadi faktor utama dalam konflik. Lokasi Myanmar membuatnya lebih strategis. Ia berada di antara dua negara terpadat di dunia, China dan India, keduanya lapar akan sumber daya alam.
"Dilihat dari sudut ini, penganiayaan terhadap Rohingya setidaknya memiliki dua fungsi, meski tidak terencana. Mengeluarkan mereka dari tanah mereka adalah cara membebaskan lahan dan air. Membakar rumah mereka membuat ini ireversibel, Rohingya terpaksa melarikan diri dan meninggalkan tanah mereka. Kedua, fokus pada perbedaan agama memobilisasi hasrat seputar agama, bukan bertujuan untuk memberi tekanan pada pemerintah untuk menghentikan penggusuran semua petani kecil, tidak peduli agama mereka," tulis Saskia.
[ald]
BERITA TERKAIT: