MELIPUT DIALOG INDONESIA-AUSTRALIA II (1)

Ada Bule Berbatik Di Antara Pria Berjas

Laporan: Mellani Eka Mahayana

Senin, 18 Maret 2013, 14:52 WIB
RAKYAT Merdeka berkesempatan meliput langsung Dialog Indonesia-Australia II di Sydney, Australia, 3-4 Maret. Dialog dihadiri 75 tokoh dari Indonesia dan Australia. Setelah perkenalan, para tokoh ini melakukan dialog mendalam soal hubungan kedua negara.
 
Yang saya bayangkan sebelumnya tentang Dialog Indonesia-Australia (IAD) ternyata sangat berbeda dari yang saya lihat langsung di Sydney. Pertemuan rupanya digelar dengan format berbeda dari acara IAD pertama di Jakarta tahun lalu. Ada empat panel diskusi. Yakni, panel media, bisnis, sains, dan pendidikan budaya. Menurut co-chair dialog ini, analis politik Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Rizal Sukma, format baru dipakai supaya mendapatkan hasil yang lebih fokus.

Bagaimana bentuk dialognya? Even ini memang tidak pernah muncul di televisi karena mereka bukanlah para penentu kebijakan. Mereka adalah orang-orang pintar yang berniat meningkatkan hubungan kedua negara di level masyarakat kedua negara. Istilah kerennya people to people contact.

Peserta adalah politisi senior dan anggota parlemen, kelompok bisnis serta para ilmuwan dari kampus dan lembaga think tank. Mereka menilai, hubungan yang harmonis di kalangan elite saja tidak cukup bagi kedua negara tetangga yang berbeda 180 derajat kebudayaannya. Maklum, orang Australia itu mewakili budaya Barat di kawasan Asia, meskipun kini jumlah warganya hampir separo adalah para pendatang yang umumnya dari Asia.

Perbedaan ini menurut bekas Duta Besar Australia Indonesia John McCarthy, ada blank spot atau ruang kosong antar warga kedua negara. Untuk itulah mereka bertemu selama dua hari, 3-4 Maret 2013, dengan maksud menelurkan pemikiran bernas untuk dibawa ke tingkat elite masing-masing negara sebagai rekomendasi. Syukur-syukur pemikiran itu bisa diterapkan pemerintah kedua negara demi mewujudkan people to people contact yang menjadi kesepakatan saat Presiden SBY dan Perdana Menteri Australia Julia Gillard bertemu di Canberra, Maret 2010.

Hari pertama pertemuan, empat panel diskusi dibentuk dengan jumlah partisipan berbeda-beda. Meski waktunya bersamaan ruangannya berbeda. Sebagai observer, saya bebas memilih masuk panel diskusi yang mana saja. Pakaian tidak diatur. Yang penting rapi. Kebanyakan peserta pria mengenakan jas abu-abu kehitam-hitaman. Begitu juga yang wanitanya. Malah beberapa bule mengenakan batik. Tidak ada yang mengenakan pakaian ngejreng. Jadinya menambah serius suasana dialog yang memang terkesan serius.

Nggak ada yang mangkir hadir ke acara ini. Rajinnya peserta bisa diacungi jempol. Yang melegakan, dalam diskusi ini setiap wakil dari negaranya menyampaikan ide terbuka. Budaya Indonesia yang biasanya dikenal ewuh pakewuh juga tidak tersirat. Tentu minus kata kasar atau pernyataan tak bermutu.

Semua orang terlihat serius, tidak ada yang tampak mengantuk karena kepala mereka terus berpikir dan ingin mengeluarkan ide. Duta Besar Indonesia untuk Australia Najib Riphat Kesoema, sepertinya merasakan hal itu. Hari itu, Minggu (3/3), Dubes Najib sudah tampak di TKP 30 menit menjelang acara dimulai pukul satu siang dengan welcome lunch yang digelar di lantai dua hotel.

Makan siang ini digelar di antara lorong menuju ruangan tempat pelaksanaan. Teh, kopi dan jus jeruk telah tersedia lengkap dengan roti model sandwich, menu makan siang.
Jangan tanyakan nasi atau mi. Bukan budaya mereka. Tapi tentu makanannya sesuai dengan aturan makan gizi seimbang ala Tanah Air. Ada karbohidrat, sayur dan daging serta buah, itu telah tercukupi. Para partisipan terhindar dari kekenyangan atau mata mengantuk.

Saat makan siang ini, peserta lebih banyak memilih berdiri karena bisa saling menyapa dan mengobrol. 10 meja yang tersedia, tidak ada yang terisi. Dubes Najib tampak wara-wiri menyapa partisipan sambil bertukar kartu nama. Begitu juga dengan partisipan satu sama lain. Ini bukti people to people contact telah terjadi dalam lingkup kecil.

Acara makan berakhir begitu panitia membunyikan gemerincing lonceng kecil. Meski tidak ada MC yang berteriak-teriak, peserta yang sudah menggenggam jadwal masing-masing memasuki ruangan dengan teratur. Para delegasi Indonesia dan Australia berkumpul di ruangan berbeda untuk di-briefing.

Di ruangan yang bisa memasok 100 orang itu, Najib memaparkan kondisi Australia dan hubungan bilateral sekitar 45 menit. Orang Indonesia yang ikut plus diplomat yang bertugas di KBRI dan KJRI Sydney ada sekitar 30 orang. Anggota Wantimpres Hassan Wirajuda duduk di barisan kursi paling depan  mendengarkan pemaparan. Sedangkan Konsul Jenderal RI di Sydney, Gary RM Jusuf duduk tak jauh dari wartawan di baris kedelapan dari 10 deretan kursi-kursi berwarna merah hati.
Tak ada kesulitan mendengar pemaparan bekas dubes untuk Uni Eropa ini. Sound system-nya oke punya.

Sebagai tuan rumah yang menjadi fasilitator acara Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia dan panitia, Australian Institute of International Affairs (AIIA) tampak telah mempersiapkan acara dengan matang. Najib memaparkan, hubungan antara Indonesia dan Australia dalam sepuluh tahun terakhir terus meningkat, meski kadang kala mengalami kejutan dan dinamika.

"Itu adalah hal yang lumrah bahwa sebagai tetangga dekat. Di satu pihak ada riak di lain pihak tenang," katanya, dalam presentasi menjelang IAD selama dua hari. Nadjib mengingatkan bahwa dialog ini merupakan satu dari tiga instrumen penguatan hubungan bilateral, seperti yang sudah disepakati kepala pemerintahan kedua negara.(***)

 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA