Pantai Gading Dipimpin Dua Presiden

Jalan Damai Gagal, PBB Tambah Pasukan

Sabtu, 22 Januari 2011, 00:17 WIB
Pantai Gading Dipimpin Dua Presiden
Bendera Pantai Gading
RMOL.Krisis pemerintahan di Pantai Gading bikin rakyatnya bingung dan takut. Penculikan, pembu­nuhan, dan kekerasan bersenjata terus terjadi. Khawatir terjadi pertumpahan darah besar-be­saran, PBB memutuskan me­nambah 2.000 personel lagi ke ne­gara itu, hari Rabu (19/1).

Dengan adanya resolusi baru dari Dewan Keamanan (DK) PBB untuk menambah personel itu, jumlah anggota pasukan per­damaian PBB di Pantai Gading mencapai 11.800 orang.

Perdana Menteri Kenya Raila Odinga yang diutus Uni Afrika (UA) untuk menengahi konflik politik di Pantai Gading me­nga­takan, jalan damai gagal. Pantai Gading tetap memiliki dua pre­siden: Laurent Gbagbo dan Alas­sane Ouattara. Gbagbo harus di­hadapi dengan aksi militer karena me­nolak jalan damai.

Situasi di negara penghasil ka­kao terbesar di dunia itu semakin tidak menentu. Sejak sengketa hasil pemilu 28 November 2010 muncul dan berpuncak pada dualisme kekuasaan, hampir 250 orang tewas.

Belum lagi gelombang warga yang lari dari negaranya. Sudah lebih dari 20.000 orang lari ke negara tetangga, terutama Li­be­ria, karena mereka khawatir bisa menjadi korban kekerasan. Aksi kekerasan etnis di Rwanda pada tahun 1994 yang menewaskan 800.000 orang, juga dipicu kon­flik politik, dikhawatirkan terjadi di Pantai Gading.

Perang saudara pada tahun 2002 dan 2003 telah membagi Pantai Gading menjadi dua ber­dasarkan etnis: utara dan selatan. Ouattara dari utara, yang kini menjadi basis perjuangan pem­berontak radikal yang ingin menjadi negara otonom, dan Gbagbo dari selatan.

Rakyat Pantai Gading kini deg-degan menanti apa yang terjadi selanjutnya. Setelah UA dan Ecowas mengancam akan meng­gunakan kekuatan militer untuk memaksa Gbagbo turun, jenderal jalanan ini melawan. Ia menolak mediasi Odinga.

Tak hanya itu, Gbagbo terus- menerus unjuk kekuatan. Pa­sukan keamanan Gbagbo, Selasa lalu, menembak mati seorang warga Abobo. Kota niaga yang dihuni 1,7 juta orang ini meru­pakan basis massa Ouattara. Se­belumnya, kantor partai opo­sisi pendukung Ouattara dan Se­kre­tariat Kabinet Ouattara di Hotel Golf, Abijan, dikepung pasukan Gbagbo.

Ouattara sejak awal tidak menunjukkan perlawanan fisik. Dia merasa di atas angin karena didukung komunitas interna­sional dengan garda paling depan adalah UA dan Ecowas. Ko­mu­nitas internasional beralasan, Ouattara sah terpilih sebagai pre­siden karena meraih 54,1 persen suara pada pemilu 28 November 2010. Gbagbo menolaknya.

Ouattara dinilai melakukan ke­curangan pemilu. Mahkamah Konstitusi pun sudah mem­ba­talkan ke­menangannya karena du­gaan itu. Ouattara, yang dua kali di­dis­kualifikasi dalam dua kali pemilu sebelumnya karena dira­gu­kan kewar­ga­ne­garaan­nya, mem­ban­­tah tudingan itu. [RM]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA