Transisi Energi hanya Omon-Omon Menteri ESDM

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/gede-sandra-5'>GEDE SANDRA</a>
OLEH: GEDE SANDRA
  • Selasa, 23 Desember 2025, 10:19 WIB
Transisi Energi hanya Omon-Omon Menteri ESDM
Ilustrasi truk LNG. (Foto: Cnnindonesia.com)
KETERGANTUNGAN Indonesia pada impor LPG sudah mencapai pada taraf yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2024, Indonesia mengimpor 6,9 juta ton LPG senilai USD 3,8 miliar/Rp 62 triliun (produksi Indonesia hanya 1,9 juta ton LPG) atau 78% dari total kebutuhan nasional. Padahal LPG dapat digantikan oleh gas alam yang terkompresi atau juga dikenal sebagai CNG (Compressed Natural Gas), yang mana Indonesia cukup kaya.

Cadangan gas alam Indonesia menduduki peringkat ke-11 di dunia, merupakan eksportir LNG (gas alam cair) ke- 8 di Dunia, produksi gas alam Indonesia sudah di atas 1 juta barrel setara minyak per hari, dan sumur-sumur baru yang ditemukan adalah yang kaya dengan gas alam. Keuntungan dari penggunaan gas alam/ CNG adalah selain lebih murah (sekitar 10-20%) ketimbang LPG non-subsidi, CNG juga lebih ramah lingkungan karena menghasilkan emisi karbon 19% lebih rendah ketimbang LPG dan 40% lebih rendah ketimbang batubara (karenanya sesat pikir bila memaksakan konversi batubara ke LPG/DME!).

Yang jadi permasalahan adalah sepertinya Kementerian ESDM seperti tidak berpihak kepada kebijakan menyubsitusi LPG dengan gas alam/CNG. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) yang saat ini berjumlah 48 SPBG (sebenarnya masih kurang banyak!), sebanyak 28 SPBG berada dalam kondisi tidak beroperasi karena tidak mendapat pasokan gas alam. Inipun kabarnya akan terus berkurang, karena ada indikasi alokasi gas untuk SPBG-SPBG akan semakin menurun dari 37 MMSCFD di tahun 2024 menjadi hanya 7,98 MMSCFD.

Padahal kapasitas yang ekonomis dari satu unit SPBG adalah sebesar 1 MMSCFD, ini berarti kelak hanya akan tersisa 8 SPBG saja yang beroperasi optimal! Perlu diketahui, bahwa pemanfaatan gas alam untuk digunakan sebagai gas perkotaan dan bahan bakar gas/CNG selama ini sudah sangat kecil, hanya 0,5% dari total pemanfaatan gas alam untuk kebutuhan domestik. Jadi sangat terlihat jelas bahwa transisi energi ke gas alam selama ini hanyalah omon-omon Menteri ESDM belaka.

Seharusnya bila Pemerintah tidak omon-omon atas kebijakan transisi energi dari LPG ke gas alam /CNG, maka yang harus dilakukan adalah: 1) Menambah pasokan gas untuk gas perkotaan dan bahan bakar gas menjadi setidaknya 5% dari kebutuhan domestik; 2) Menambah jumlah SPBG hingga setidaknya 100 unit yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia; dan 3) Memasifkan pembangunan infrastruktur jaringan gas (jargas) dan infrastruktur CNG (gas transportation module dan PRS) hingga masuk ke perumahan-perumahan.

Bila poin 1 dirasa sulit karena kurangnya produksi, maka sambal menunggu produksi dari sumur-sumur gas baru pemerintah dapat melakukan renegosiasi kontrak ekspor LNG ke negara-negara importir terbesar LNG Indonesia seperti China, Jepang, dan Korea Selatan untuk mengalihkan sebagian pasokan ke seluruh SPBG. Tidak perlu banyak besaran renegosiasinya, karena (perhitungan kasar saya) untuk memenuhi 100 SPBG hanya diperlukan sekitar 7% dari volume ekspor LNG Indonesia.

Untuk poin 2 seharusnya Danantara dapat turun tangan mengarahkan Pertamina mengeksekusi pembangunan SPBG-SPBG, karena jelas ini merupakan investasi jangka panjang yang berkelanjutan. Untuk poin 3, perlu koordinasi antara Kementerian Keuangan, Kementerian Perumahan (PKP), dan Kementerian ESDM untuk memasifkan pembangunan infrastruktur penunjangnya sampai ke perumahan-perumahan. Dan akan lebih baik bila seluruh pengembang perumahan swasta juga dilibatkan untuk mensukseskan poin 3 ini.
EDITOR: ADE MULYANA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA