Guncang Ekonomi Negara

Kerugian Banjir Sumatera Diprediksi Tembus Rp68,67 Triliun

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/alifia-dwi-ramandhita-1'>ALIFIA DWI RAMANDHITA</a>
LAPORAN: ALIFIA DWI RAMANDHITA
  • Senin, 01 Desember 2025, 21:01 WIB
Kerugian Banjir Sumatera Diprediksi Tembus Rp68,67 Triliun
Banjir di sejumlah wilayah di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. (Foto: Divhumas Polri)
rmol news logo Kerugian ekonomi akibat bencana banjir besar yang melanda wilayah Sumatra diperkirakan mencapai Rp68,67 triliun atau sekitar 0,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. 

Berdasarkan studi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dampak banjir di wilayah tersebut akan meluas, bukan hanya dirasakan di area yang terdampak langsung.

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menegaskan banjir ini memutus rantai pasok dan distribusi barang antarwilayah, sehingga aktivitas ekonomi di banyak provinsi ikut terganggu.

“Ketika satu daerah terjadi bencana hingga memutuskan transportasi, dampak bukan hanya di provinsi tersebut, namun secara nasional juga mengalami dampak negatif,” ujar Bhima dalam keterangan resminya, Senin 1 Desember 2025.

CELIOS memaparkan kerugian tersebut mengacu pada banyaknya rumah terdampak dengan estimasi kerusakan Rp30 juta per unit, pembangunan kembali jembatan senilai Rp1 miliar per jembatan, penurunan pendapatan rumah tangga selama 20 hari kerja, kerugian sawah dengan asumsi kehilangan Rp6.500/kg per 7 ton per hektare, hingga biaya perbaikan jalan yang dipatok Rp100 juta per 1.000 meter.

Sementara itu, secara regional, nilai kerugian ekonomi Aceh sendiri diproyeksikan mencapai Rp2,04 triliun, Sumatera Utara Rp2,07 triliun, Sumatera Barat Rp2,01 triliun.

“Angka ini mencakup kerusakan rumah penduduk, kehilangan pendapatan rumah tangga, rusaknya fasilitas infrastruktur jalan dan jembatan serta kehilangan produksi lahan pertanian yang tergenang banjir-longsor,” jelasnya.

Bhima menjelaskan bencana ekologis yang berulang ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan tata guna lahan. Ia menyoroti deforestasi yang dipicu ekspansi sawit dan aktivitas pertambangan sebagai penyebab hilangnya daya serap lingkungan.

“Ketika terjadi bencana alam, maka akan memutus jalur distribusi dan menyebabkan perdagangan melemah. Selain itu, konsumsi masyarakat juga mengalami pelemahan karena tidak ada penghasilan selama periode bencana,” sambung dia.

Ia juga menggarisbawahi keuntungan sektor sawit dan tambang tidak sebanding dengan kerugian yang terjadi akibat banjir.

“Aceh merugi Rp2,04 triliun, lebih besar dibanding Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tambang Aceh Rp929 miliar hingga 31 Agustus 2025,” ungkap dia.

Di tingkat nasional, kerugian ekonomi Rp68,6 triliun disebut jauh lebih besar dibandingkan sumbangan penerimaan sektor tambang (PHT) yang hanya Rp16,6 triliun per Oktober 2025. 

Di Aceh sendiri, kontribusi Dana Bagi Hasil (DBH) dari sawit hanya sebesar Rp12 miliar dan minerba Rp56,3 miliar pada 2025 yang juga tidak sebanding dengan kerugian masif yang ditimbulkan bencana.

“Celios mendesak moratorium segera izin tambang dan perluasan kebun sawit. Sudah waktunya beralih ke ekonomi yang lebih berkelanjutan, ekonomi restoratif. Tanpa perubahan struktur ekonomi, bencana ekologis akan berulang dengan kerugian ekonomi yang jauh lebih besar,” tandasnya.rmol news logo article


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA