Menurut Bhima, angka pertumbuhan ekonomi BPS tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan. Ia menyoroti adanya kejanggalan khususnya pada data industri pengolahan yang mencatat pertumbuhan 5,68 persen year on year (yoy). Padahal, Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur justru menunjukkan pelemahan.
"Selisih datanya terlalu berbeda antara BPS dan PMI Manufaktur. BPS menghitung adanya pertumbuhan 5,68 persen yoy untuk industri pengolahan, sementara akhir Juni 2025, PMI Manufaktur turun dari 47,4 menjadi 46,9. Jadi penjelasannya apa?" kata Bhima dalam pernyataannya, pada Rabu 6 Agustus 2025.
Ia juga menyoroti banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor padat karya, hingga efisiensi yang banyak dilakukan oleh sektor industri.
"Bagaimana mungkin PHK massal di padat karya meningkat, terjadi efisiensi dari sektor industri, penjualan semen turun, bahkan di sektor hilirisasi juga smelter nikel ada yang berhenti produksi tapi industri tumbuh tinggi?" tuturnya.
Bhima juga mempertanyakan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang yang hanya mencapai 4,97 persen, padahal kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sangat besar mencapai 54,2 persen.
"Konsumsi rumah tangga juga tumbuh hanya 4,97 persen padahal kontribusinya 54,2 persen terhadap PDB. Idealnya konsumsi tumbuhnya diatas 5 persen agar pertumbuhan ekonomi total jadi 5,12 persen yoy," tegasnya.
Selain itu anomali lain yang disorot Bhima adalah pertumbuhan ekonomi kuartal II yang justru lebih tinggi dibanding kuartal I 2025 yang didongkrak momentum Ramadan dan Lebaran. Sementara di kuartal II, kata Bhima tidak ada faktor musiman yang signifikan, sehingga banyak pihak yang meragukan data tersebut.
"Ada indikasi yang membuat masyarakat meragukan akurasi data BPS," tandasnya.
BERITA TERKAIT: