Hal tersebut dibongkar Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi
The Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (23/7).
Pertama, Indef menilai pengajuan permohonan BMAD oleh Asosiasi Aneka Industri Industri Keramik Indonesia (ASAKI) dianggap tidak representatif dan lemah karena hanya merepresentasikan 26 persen dari total produksi ubin keramik dalam negeri.
Hal tersebut, kata Andry, bertentangan dengan perjanjian Anti Dumping WTO yang mensyaratkan adanya major proportion dari total produksi domestik untuk pengajuan tersebut.
“Kalau dilihat dari sisi peraturan WTO sendiri jangan lupa, kita tahu bahwa harus ada terjadi
major injury dan pemohon harus merepresentasikan keseluruhan pemain yang ada di lokal. Artinya kalau kita melihat 26 persen ini belum bisa merepresentasikan keseluruhan industri dalam negeri (IDN). Sangat disayangkan 26 persen itu kan belum bisa menggambarkan 100 persen atau minimal 50 persen dari kondisi industri domestik,” ujar Andry.
“Hasil penyelidikan KADI dengan dasar 26 persen ini tentu sangat lemah untuk memberi gambaran bahwa IDN itu sedang turun kinerjanya apalagi hasil KADI tidak menunjukkan adanya
injury dalam industri keramik khususnya untuk porselen di dalam negeri,” tambahnya.
Kedua, lanjut dia, hasil penyelidikan KADI menerangkan bahwa terdapat 6 perusahan ubin keramik Industri Dalam Negeri (IDN) telah dinyatakan tutup karena banjirnya impor ubin keramik dari China. Indef menilai rekomendasi KADI itu sesat, bak buruk muka cermin dibelah.
Justru Indef melihat fakta bahwa 6 perusahaan ubin keramik IDN yang tutup tersebut tidak terpengaruh impor keramik dari Tiongkok, melainkan karena faktor tidak mampu
survive di tengah persaingan dagang yang tidak sehat yang terjadi di antara para produsen dalam negeri sendiri.
“Untuk kasus perusahaan yang bangkrut dan tutup itu perlu dilihat lagi karena beberapa data menunjukkan itu terjadi di tahun 2014, 2015 dan juga di tahun 2017 dan 2018. Jadi jangan sampai hasil rekomendasi KADI hari ini, itu berpatokan pada kejadian-kejadian yang ada di masa lampau,” bebernya.
Andry menambahkan, untuk kasus sejumlah industri keramik dalam negeri tumbang itu diduga penyebabnya
over produksi keramik
body merah yang kurang diminati konsumen, sedangkan konsumen lebih memilih keramik
body putih hasil impor dari China.
Sambung Andry, selain
over supply, industri dalam negeri juga terlibat
'price war' atau perang harga sehingga mereka yang tidak sanggup bertahan mengalami kerugian.
“Dan ini menurut saya juga perlu dilihat mereka yang tutup ini kebanyakan memproduksi apa, saya melihat bahwa ini yang banyak tutup adalah yang memproduksi keramik
body merah di mana keramik
body merah ini
over supply di dalam negeri dan sudah terjadi
price war di dalam negeri. Ketidakmampuan dari perusahaan-perusahaan ini untuk
price war terutama ini yang menyebabkan mereka mengalami kebangkrutan,” bebernya lagi.
Fakta ketiga, masih kata Andry, para pemohon pengajuan BMAD terhadap produk keramik asal China dengan alasan melindungi industri dalam negeri kurang tepat. Pasalnya, dari data KADI sendiri menunjukkan tidak ada tanda-tanda penurunan atau pelemahan industri dalam negeri.
Fakta keempat, dia mengaku heran antara proses penyelidikan serta analisis dan hasil rekomendasi KADI tidak sinkron, pengenaan BMAD dinilai sangat berlebihan karena hasil penyelidikan KADI sendiri tidak menunjukkan angka yang negatif.
“Jadi hal ini juga jadi salah satu kelemahan juga dari hasil KADI tersebut karena hasil analisisnya menunjukkan angka-angka yang cukup positif tetapi rekomendasinya justru mengenakan BMAD yang cukup
excessive artinya dari hasil analisis dan hasil rekomendasi itu tidak nyambung begitu,” tegasnya.
Lebih jauh, Andry memaparkan komparasi yang dilakukan oleh KADI tidak
apple to apple atau tidak sebanding antara produk satu dengan produk lainnya, KADI melakukan generalisir terhadap produk impor yang datanya berasal dari Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) saja, tidak melakukan kajian secara detail dan mendalam menggunakan data primer.
“Harusnya KADI itu melakukan komparasi yang
apple to apple antara satu produk yang sama baik itu dari sisi harga di luar harga ekspor dan juga harga di dalam negeri, nah ini perlu dikomparasikan. Apalagi kalau kita melihat terkait dengan keramik ini kan cukup banyak sekali variannya dan tipenya nah ini jangan disamakan semua begitu,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: