Andry menilai data KADI tidak kredibel, terutama dari dasar serta data yang digunakan untuk menaikkan tarif anti dumping itu. Jika memang terbukti terjadi dumping, apakah harus mengenakan tarif mencapai 200 persen.
“Kalau berbicara mengenai anti dumping begitu ya tentu kita harus berbicara juga mengenai hasil temuan yang dilakukan oleh Komite Anti Dumping Indonesia atau KADI, yang memang merekomendasikan pengenaan BMAD atas impor ubin keramik,” ujar Andry dikutip
RMOL dari
Market Review IDX Channel, Senin (22/7).
“Dalam hal ini Indef mencoba untuk mengkritisi hasil temuan dari KADI karena hasil yang dilakukan oleh KADI sendiri baik itu dari segi analisisnya dan juga rekomendasinya ini yang perlu dijadikan catatan, apakah sebetulnya praktik dumping tersebut terjadi gitu ya atau kalau misalnya memang terjadi apakah memang sampai ke 200 persen,” sambungnya.
Andry menjelaskan jika penyelidikan KADI dilakukan pada tahun 2019-2022 data menunjukkan data tren impor keramik Indonesia tidak terlalu tinggi.
“Yang perlu ditekankan di sini karena kalau kita melihat dari pertama dari proses penyelidikan untuk kerugiannya itu dilakukan di tahun 2019 sampai 2020, 2020 sampai 2021 dan 2021 ke 2022. Jadi menurut kami adalah bahwa tahun-tahun seperti itu adalah tahun sebetulnya impor dari keramik tidak terlalu tinggi,” paparnya.
“Dan melihat dari hasil dari KADI kami juga melihat bahwa capaian-capaian terkait dengan data-data bahwa itu tren impor China dan juga impor negara lain itu turun,” imbuhnya.
Sementara dari KADI sendiri penjualan dalam negeri malah meningkat, sehingga anggapan merugikan industri dalam negeri dipertanyakan.
“Justru penjualan dari dalam negeri domestik di (dalam) analisis KADI ini justru malah meningkat. Nah ini kan kami mempertanyakan juga gitu ya apakah memang sebetulnya BMAD itu tepat atau tidak?” tanyanya.
Andry menyampaikan dari segi penyerapan tenaga kerja, Harga Pokok Penjualan (HPP), investasi yang masuk juga tercatat mengalami peningkatan, ini menjadi pertanyaan yang besar bagi masyarakat apakah KADI tepat merekomendasikan BMAD sebesar itu.
“Tidak hanya itu dari segi produksi dan segi tenaga kerja ada peningkatan tenaga kerja di sana, ada dari segi HPP, dari segi investasi itu cukup meningkat. Nah ini kan publik juga mempertanyakan apakah memang tepat begitu diberikan,” jelasnya.
“Menurut saya juga kritik terhadap KADI itu sendiri bahwa jika memang harus dikenakan BMAD tolong analisis dari hasil yang disampaikan ini harusnya bisa memberikan justifikasi yang kuat begitu,” tambahnya.
Andry khawatir jika tuduhan dumping itu tidak terbukti akan menjadi blunder bagi perdagangan dalam negeri, pasalnya nilai ekspor Indonesia ke China juga cukup besar.
Lanjut dia, China bisa melakukan retaliasi produk-produk Indonesia atau dikenakan tarif balasan.
“Kita memang sebetulnya ada beberapa perjanjian juga perdagangan dan juga kita tahu juga bahwa kita melakukan ekspor yang tidak sedikit begitu ke China yang kami takutkan adalah kalau memang praktik-praktik dumping ini memang sebetulnya tidak terbukti dan juga mungkin ada gugatan dari Cina terhadap hasil KADI ini,” ungkapnya.
“Kami takutkan retaliasi itu terjadi untuk komoditas yang lain apalagi kalau kita berbicara komoditas-komoditas strategis pertambangan dan juga perkebunan yang saat ini banyak kita ekspor ke China dan juga komoditas-komoditas hilirisasi, terutama ini takutnya ketakutan dari kami adalah China mencoba untuk melakukan retaliasi begitu,” ucapnya.
Dikatakan Andry, Indef juga sudah mengundang KADI untuk mendiskusikan hal tersebut namun KADI tidak hadir untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat.
“Saya rasa sih untuk evaluasi hasil dari KADI, kemarin kami juga melakukan diskusi publik kami mengundang dari KADI untuk memberikan klarifikasi juga tidak datang,” tuntasnya.
BERITA TERKAIT: