Kebijakan yang berpangkal pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 7/2024 tentang Pengelolaan Lobster (
Panulirus spp.), Kepiting (
Scylla spp.) dan Rajungan (
Portunus spp.) itu masih mengundang kontroversi di publik.
Sejumlah pihak menekankan agar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) fokus pada budidaya, bukan hanya mengandalkan ekspor BBL.
Terlebih dalam pasal 3 poin b pada Permen tersebut, budidaya lobster bisa dilakukan di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Vietnam kemudian disebut-sebut sebagai negara tujuan ekspor sekaligus tempat budidaya untuk BBL asal Indonesia. Praktis, kebijakan ini mengundang pertanyaan dari para stakeholder.
Menanggapi itu, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP, Tb Haeru Rahayu membenarkan bahwa saat ini sudah ada 5 perusahaan yang diusulkan oleh pemerintah Vietnam untuk melakukan budidaya lobster.
Namun Tebe akrab disapa, menyebut dari 5 perusahaan
joint venture tersebut, baru 3 yang memenuhi verifikasi sesuai Permen KP Nomor 7/2024.
“Tiga dari lima perusahaan tersebut telah memenuhi semua persyaratan untuk melakukan budidaya lobster di luar wilayah RI sesuai dengan ketentuan pada Permen 7/2024,” kata Tebe kepada
RMOL, Rabu malam (17/7).
Dia menegaskan bahwa KKP juga fokus untuk budidaya di dalam negeri. Sambungnya, pengembangan budidaya lobster itu melalui skema
G to G antara Indonesia dengan Vietnam.
“Adapun lokasi pengembangan budidaya lobster di Indonesia sebagai kerja sama
G to G Indonesia dan Vietnam berada di Jembrana, Bali. Saat ini masih fase tebar benih,” jelasnya.
Dia pun tidak mengetahui secara pasti jumlah benih yang ditebar untuk budidaya di Jembrana. “Tapi kalau tidak salah dengar kisarannya sekitar 100 ribuan (benih),” ungkapnya.
Lanjut mantan Asisten Deputi di Kemenko Maritim dan Investasi (Marves) itu, Permen KP Nomor 7/2024 telah dirancang dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan pengelolaan lobster.
Menurutnya, peraturan menteri ini juga telah melalui proses konsultasi publik yang cukup dan mendapatkan masukan dari berbagai kalangan termasuk nelayan, pembudidaya, akademisi, pemerintah daerah serta stakeholder perikanan lainnya.
“Fokus utama pengaturan dalam Peraturan Menteri tersebut adalah pengelolaan lobster yang berkelanjutan dan memastikan kebermanfaatan sumber daya BBL bagi nelayan kecil, pengembangan budidaya lobster di dalam negeri, serta penguatan peran Indonesia sebagai bagian penting dalam
global supply chain lobster,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: