Anggota Komisi XI DPR RI Charles Meikyansah mengingatkan Bank Indonesia (BI), sebagai bank sentral, agar tidak tinggal diam.
"Langkah yang harus segera dibuat di awal adalah melakukan mitigasi dengan cermat. Setiap kebijakan harus didasarkan pada bukti-bukti (
evidence based policy)," tutur Charles dalam rilis yang disampaikan kepada Parlementaria, di Jakarta, Selasa (26/6/2024).
Pemerintah, menurutnya, harus lebih berhati-hati sebab jika salah langkah bisa berdampak pada ekonomi nasional.
Dia menyebutkan pemerintah harus melihat dari dua sisi, baik fiskal maupun moneter, sebagai langkah antisipasi sekaligus perbaikan.
Tidak hanya dengan langkah tersebut, Charles menekankan kepada pihak BI untuk tidak membiarkan nilai rupiah dalam kondisi yang terus melemah atau bergerak liar (
volatile).
"Secara teknis, bisa dilakukan kebijakan intervensi misalnya di pasar
non-deliverable forward (NDF), pasar spot, dan pasar surat berharga negara (SBN)," ujar politisi Fraksi Partai Nasdem itu.
Dirinya menambahkan perlu adanya penyesuaian kebijakan suku bunga acuan. Harapannya, bisa memicu apresiasi, namun hal ini juga bisa memicu depresiasi yang makin dalam.
"Cara lainnya yang dapat ditempuh dengan hati-hati tentunya adalah intervensi pasar secara langsung. Kita juga harus mengandalkan cadangan devisa yang saat ini dimiliki untuk bisa menstabilkan kondisi yang ada," imbuhnya.
Selain itu, dia menyampaikan penyebab terjadinya pelemahan nilai tukar rupiah, di antaranya adalah sentimen global dan kuatnya perekonomian Amerika Serikat yang diduga banyak pelaku pasar masih akan sulit menurunkan suku bunga acuan.
"Hal lainnya misalnya, adalah masih terus memanasnya konflik di Timur Tengah. Kita berharap konflik Timur Tengah segera ada jalan keluar. Kemanusiaan harus di atas segalanya," beber dia.
Sedangkan faktor dalam negeri, kata Charles, misalnya pelemahan
current account, terutama di perdagangan barang atau ekspor impor barang, yang surplusnya jauh mengecil dan sangat signifikan dalam beberapa tahun setelah pandemi Covid-19. Hal itu yang menjadi salah satu sinyal kondisi makro ekonomi yang kurang baik, sehingga mendorong pelemahan rupiah.
"Selain itu, ada sentimen yang mungkin dinilai negatif oleh market (pasar), karena adanya isu Presiden Prabowo Subianto akan menaikkan rasio utang hingga 50 persen dari PDB untuk memenuhi janji kampanye, meskipun tentu hal ini masih dugaan," urainya.
Charles berpendapat, dampak dari melemahnya rupiah atas Dolar AS cukup membahayakan bagi perekonomian nasional. Pertama, ada kekhawatiran adanya pemborosan dari sisi
supply, secara sederhana menyebabkan terjadinya
cost overrun, terutamanya pada aspek produksi yang selama ini masih menggunakan bahan baku impor industri.
"Pelaku usaha tentu akan mengalami dilema jika hal itu berlangsung dalam waktu lama. Salah satunya yang akan tertekan, misalnya adalah industri alat berat. Mengapa? Karena mayoritas bahan baku masih impor," tegasnya.
Kedua, lanjut Charles, dengan pelemahan rupiah sebenarnya menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian investor. "Namun kita harus berhati-hati dengan argumen ini, mengingat investor akan cenderung tidak suka berinvestasi di sektor riil. Karena saat ini market dalam negeri berada dalam kondisi yang tidak baik," pungkas legislator Dapil Jawa Timur IV (Lumajang dan Jember) itu.
BERITA TERKAIT: