Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sandang Kota Tembakau, Jember Didorong jadi Pusat Investasi Berbasis Agribisnis

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/adityo-nugroho-1'>ADITYO NUGROHO</a>
LAPORAN: ADITYO NUGROHO
  • Selasa, 23 Januari 2024, 20:12 WIB
Sandang Kota Tembakau, Jember Didorong jadi Pusat Investasi Berbasis Agribisnis
Petani Tembakau Jember/Net
rmol news logo Selain sebagai lumbung pangan, Kabupaten Jember juga merupakan penghasil tanaman hortikultura dan perkebunan yang strategis, yaitu tebu dan tembakau.

Istimewanya, tembakau Jember sangat cocok untuk produksi cerutu dengan kualitas ekspor.

Berangkat dari fakta tersebut, Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai sudah seharusnya kebijakan perkebunan di Jember memaksimalkan keunggulan komparatif dan kompetitif yang terkenal dengan sebutan Kota Tembakau tersebut.

"Oleh karenanya, saya mendorong agar kebijakan perkebunan di Jember ini diprioritaskan kepada pengembangan investasi berbasis agribisnis dan agro industri," kata LaNyalla dalam pidatonya pada acara Silaturahmi Kebangsaan Nasional DPC APDESI Kabupaten Jember dengan tema 'Otonomi Desa untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat' di Phoenix Ballroom, Luminor Hotel Jember, Selasa (23/1).

Berkaca pada hal tersebut, LaNyalla sempat memberi saran kepada Menteri BUMN agar membatalkan rencana penggabungan beberapa anak perusahaan di bawah PT Perkebunan Nusantara Holding. Termasuk juga menggabungkan PTPN komoditas perkebunan, baik tembakau, kopi, karet, kakao dan sawit menjadi satu.

Bukan tanpa alasan kebijakan tersebut dikritik LaNyalla. Selain menabrak Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Usaha Bidang Pertanian, kebijakan tersebut juga bisa merugikan petani mitra. Hal itu terjadi jika kinerja PTPN X yang selama ini fokus kepada komoditas tembakau dan tebu di Jember menurun akibat penggabungan tersebut.

"Saya sudah mengingatkan Menteri BUMN untuk memikirkan ulang rencana tersebut. Tapi rupanya, kebijakan itu tetap dilakukan," tutur LaNyalla.

Berangkat dari fakta tersebut, Senator asal Jawa Timur itu mengingatkan kepada pemangku kebijakan untuk berpikir dalam skala makro dan mikro dalam membangun desa sebagai kekuatan ekonomi dan sentra penjaga kedaulatan hasil bumi.

Desa, LaNyalla melanjutkan, harus menjadi kekuatan ekonomi. Hal tersebut telah ia sampaikan berulang kali pada berbagai forum. LaNyalla menyampaikan alasan gagasannya tersebut. Selain untuk mencegah urbanisasi, kekuatan ekonomi desa harus diperkuat lantaran Sumber Daya Alam (SDA) dan sumber ketahanan pangan nasional sejatinya memang berada di desa.

"Maka tak ada alasan lain, desa harus menjadi sumber kekuatan ekonomi nasional. Kita harus mempersiapkan dengan matang, utamanya desa yang memiliki kekuatan hasil bumi yang dapat terus diperbarui," ujar LaNyalla.

Menurut LaNyalla, hal ini sangat penting diupayakan, mengingat dunia tengah menghadapi ancaman krisis pangan global yang diperkirakan terjadi menjelang tahun 2040 hingga 2050 mendatang. Badan Pangan Dunia meramalkan akan terjadi peningkatan kebutuhan pangan di tahun itu sebanyak 60 persen dibanding sekarang.

Pada saat yang sama, di tahun itu juga Indonesia diprediksi mengalami bonus demografi atau ledakan jumlah penduduk usia produktif yang mencapai 70 persen populasi dari total penduduk di Indonesia.

Itu sebabnya negara-negara di dunia tengah sibuk mempersiapkan diri untuk memperkuat kedaulatan pangan mereka. "Bahkan, mereka sudah menggunakan pendekatan Bioteknologi dan intensifikasi lahan untuk menghasilkan pasokan pangan yang mencukupi," jelas LaNyalla.

Amerika Serikat, Brazil, Argentina, India, China, adalah negara-negara di dunia yang telah bersiap dan memiliki tanaman berbasis Bioteknologi dengan luasan lahan jutaan hektare. Lalu bagaimana Indonesia?

Di Indonesia, kata LaNyalla, termasuk di Jember ini, justru mengalami masalah. Dalam hal komoditas tebu misalnya, justru memiliki persoalan kualitas dan kuantitas tebu rakyat di Indonesia yang terus menurun.

Padahal, kata LaNyalla, berdasarkan sebuah studi pada zaman Belanda sekitar tahun 1930-an, lahan tebu di Indonesia mencapai total 200 ribu hektare dan bisa menghasilkan gula 3 juta ton.

"Tetapi sekarang, dengan lahan yang lebih luas, dengan total lahan tebu di Indonesia yang berkisar 500 ribu hektare, justru hanya menghasilkan gula 2,2 juta ton. Malah menurun. Ini tentu persoalan serius yang harus dilihat dari banyak aspek," beber LaNyalla.

Dikatakannya, saat negara-negara lain orientasinya memperkuat pembangunan di sektor kedaulatan pangan, Indonesia justru mengambil jalan pintas untuk impor bahan kebutuhan pangan dan sembako.

"Ini karena adanya segelintir orang yang diuntungkan sebagai importir produk konsumsi," tegas LaNyalla. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA