Penyebab lainnya, menurut Suroto akibat tidak adanya organisasi yang kuat dalam mengakomodir anggotanya sekaligus memanajemen aktivitas dari hulu ke hilir.
Suroto mengulas contoh industri penyamakan kulit di Yogyakarta. Industri ini butuh suplai kulit dari pemotongan sapi. Kemudian, dari rumah pemotongan sapi butuh suplai peternak sapi.
Dalam penyamakan ini, butuh kulit akasia untuk bahan pelemasan kulit dari kulit akasia. Kulit akasia itu ditanam oleh petani dan kemudian dikumpulkan pedagang.
“Bayangkan, dari industri penyamakan kulit saja ada berapa orang yang mendapatkan pekerjaan. Berapa orang yang mendapatkan keuntungan. Belum lagi efek lain seperti industri keuangan, penjualan dan pembelian bahan bahan pembantu dan lain sebagainya,” ucap Suroto dalam keterangan tertulis, Minggu (5/11).
Menurut pengamatannya, industri rumahan itu semua hancur awalnya karena hal-hal sederhana. Para pembeli dari luar negeri mulai mengadu domba para pemilik industri dengan pekerjanya.
“Dari kasus itu, dapat kita ambil maknanya bahwa kelemahan dari industri rumahan itu ternyata mereka tidak mampu membangun kelembagaan yang baik untuk konsolidasikan diri. Datang kemudian para pedagang atau pembeli terutama dari luar negeri yang ingin mengeruk untung besar,” jelasnya.
“Coba andaikan para penyamak kulit, dan lainya itu memiliki suatu organisasi yang kuat untuk menyatukan visi soal urusan penentuan penjualan dan mereka mampu membangun persatuan, maka mereka tak akan mudah ditembus oleh para pembeli spekulan itu. Persaingan yang hasilkan keterpurukan tidak akan mungkin terjadi,” tuturnya.
Masalah lainnya, lanjut dia adalah soal kebijakan pembangunan industri basis rumah tangga kita oleh pemerintah. Menurut dia, jika pemerintah tidak korup dan menerima sogokkan para eksportir luar negeri maka industri kita tidak akan hancur.
Lanjut Suroto, pemerintah seharusnya melindungi industri rumah tangga kita dengan mendorong kebijakan fiskal untuk mendukung impor barang modal yang mendukung industri rumahan.
Kemudian memberikan insentif lainya berupa kebijakan trade off untuk mendukung logistik dan membuat kuota alokasi khusus untuk memberikan dukungan industri.
“Jika semua itu dilakukan, industri kita pasti akan semakin kuat dan bukanya lenyap,” tegas dia.
“Tapi melihat gejalanya, para elite politik dan pemerintah saat ini sepertinya lebih suka mendukung para importir dalam negeri impor barang jadi dari eksportir luar negeri untuk banjiri produk mereka ke masyarakat kita atau industri pabrikan yang dikuasai segelintir elite kaya,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: