Padahal, isu lingkungan hidup harus dikawal sedemikian ketat untuk menunjukan kelas politik Indonesia memang untuk kemanusiaan.
"Apabila sampah plastik sudah tidak menjadi komoditas politik, maka mau dengan apa kita bisa menekan penggunaan plastik yang nyatanya akan membunuh kita perlahan?" ujar Deputi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Rosiful Amirudin di Jakarta.
Dia menegaskan, jika politik tidak bisa mengakomodir permasalahan yang berdampak pada kemanusiaan dan lingkungan hidup maka urusan penanganan sampah plastik hanya akan dianggap remeh temeh.
"Kita berperang dengan sampah plastik saja masih keteteran, bagaimana kita akan bersiap perang pada sektor pangan kita? Sudah terbiasakah membawa
goodie bag sendiri dalam tas untuk mengurangi penggunaan sampah?†tantangnya.
Setiap orang, terutama politisi dan para pengambil kebijakan, lanjut dia, harus menyadari dan beniat mengurangi sampah plastik, agar kejadian matinya ikan paus sperma seperti yang terjadi di Wakatobi itu, tidak terulang lagi.
"Membunuh makhluk hidup menggunakan sampah plastik sangat dimungkinkan sekali, jika plastik terus menerus diberikan kebebasan berkembang biak tanpa pembatasan," ujarnya.
Rosiful memaparkan, untuk pemakaian sedotan plastik di Indonesia diperkirakan mencapai 93,2 juta sedotan per hari. Itu setara dengan hampir seperlima dari total penggunaan sedotan di seluruh dunia.
Bukan tidak mungkin dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan, Indonesia bahkan dunia, akan dihimpit oleh berjuta ton sampah plastik yang sukar diolah.
Dilacak dari sejarahnya, permasalahan pencemaran sampah plastik dipublikasikan pada tahun 1970-an atau sekitar 40 tahun sebelum muncul hasil riset yang berjudul “
Plastic Waste Inputs From Land Into The Ocean†yang diterbitkan di Jurnal Science (2015).
Berdasarkan tulisan itu, disebutkan bahwa terdapat dua penyebab utama 80 persen sampah plastik terbuang ke lautan, yakni, pertama, pertumbuhan penduduk bumi yang terus membesar dan kedua, pengelolaan sampah yang belum mumpuni.
Mengapa lautan? Karena sebagian orang masih menganggap lautan lepas merupakan tempat sampah yang paling luas dan sangat memungkinkan sebagai tempat pembuangan sampah paling aman.
"Sampah yang mengalir deras di anak-anak sungai nyatanya akan menuju lautan. Baik sampah plastik maupun sampah hasil limbah industri rumahan dan perusahaan," ujar Rosiful.
Praktik-praktik pembuangan limbah industri melalui sungai kerap terjadi. Hal itu dilakukan untuk mengakali kompensasi pengelolaan limbah.
"Jadi Indonesia bukan saja akan terhimpit oleh sampah plastik, namun pencemaran akibat limbah industri yang tidak terkontrol yang akhirnya terbuang ke lautan," ujarnya.
Persoalan sampah plastik harus menjadi persoalan bersama, karena menurut
The Ocean Cleanup (2017) diperkirakan sebanyak 1,15-2,41 juta ton plastik dibuang ke sungai mengunakan 48 ribu-100 ribu truk sampah.
Indonesia memiliki empat sungai besar yang menjadi tempat pembuangan sampah plastik yakni Sungai Brantas, Sungai Bengawan Solo, Sungai Kali Serayu, dan Sungai Kali Progo.
"Sebagian juga memasukkan Sungai Citarum yang mendapatkan predikat sebagai sungai terkotor di dunia. Dan itu terdapat di Indonesia," terangnya.
Dengan tegas dia mengingatkan, pembuangan sampah ke lautan bukan saja berdampak buruk pada ekosistem laut, namun juga masyarakat pulau-pulau kecil yang sangat bergantung pada sektor laut.
Kebijakan pengelolaan sampah sudah diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan. Seperti UU 18/2018 tentang Pengelolaan Sampah, yang diturunkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 81/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Kemudian, ada juga Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia 13/2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse, dan Recycle melalui Bank Sampah.
[wid]
BERITA TERKAIT: