Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Efektivitas Revisi DNI, Maukah Investor Beli Obral Murah Ekonomi Indonesia?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/salamuddin-daeng-5'>SALAMUDDIN DAENG</a>
OLEH: SALAMUDDIN DAENG
  • Minggu, 18 November 2018, 09:43 WIB
Efektivitas Revisi DNI, Maukah Investor Beli Obral Murah Ekonomi Indonesia?
Salamuddin Daeng/Net
BARU-baru ini pemerintah merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI) atau merevisi daftar usaha yang tertutup dan terbuka bagi penanaman modal asing. Kali ini revisi dilakukan melalui paket kebijakan ekonomi yang kesekian kali yang dilakukan pemerintah.

Dasar dari peraturan tentang DNI adalah UU 25/2007 tentang Penanaman Modal (UUPM). UU ini merupakan pengganti UU 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing sekaligus mengganti UU 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Kedua UU yang disatukan pada era reformasi untuk memberi perlakuan yang sama terhadap penaman modal asing, penanaman modal dalam negeri dan usaha kecil menengah serta koperasi.

Intinya disebut sebagai azas perlakuan yang sama atau national treatment.

Selain itu, DNI mengacu kepada hasil pertemuan ASEAN Summit, 11-15 November 2018, yang merupakan pertemuan tingkat kepala negara bagi liberalisasi pasar ASEAN. Kesepakatan dalam ASEAN Summit bersifat mengikat atau legally binding. Apapun yang disepakati di ASEAN Summit wajib ditindaklanjuti oleh negara anggota, termasuk Indonesia.

Perubahan DNI biasanya dilakukan melalui Peraturan Presiden (Perpres) tentang bidang usaha yang tertutup dan terbuka bagi penanaman modal. Tapi dalam masa pemerintahan Jokowi lebih banyak dilakukan melalui paket paket kebijakan ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwa paket kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi merupakan kebijakan kunci dalam pemerintahan ini dan menjadi semacam GBHN yang menjadi acuan negara dan pemerintahan dalam menjalankan roda ekonomi.

Masalah Yang Muncul


Masalah terbesar perekonomian Indonesia sekarang adalah stabilitas ekonomi yang buruk dan ketidakpastian kebijakan. Dua masalah yang paling menakutkan bagi kegiatan penamanan modal baik modal asing maupun modal dalam negeri.

Adapun yang dimaksud penanaman modal di sini adalah penamanan modal langsung (direct investment) atau penanaman modal asing langsung (foreign direct investment). Dikarenakan DNI merupakan instrumen menarik investasi bagi penanaman modal langsung bukan penanaman modal tidak langsung.

Bagi penamanan modal langsung, momok yang paling menakutkan adalah stabilitas ekonomi. Stabilitas ekonomi yang buruk membawa resiko kerugian yang besar bagi penanaman modal langsung.

Kondisi ekonomi yang fluktuatif dan over dinamis disukai oleh para spekulan, atau pelaku penanaman modal tidak langsung. Investasi semacam ini terjadi di pasar keuangan, bursa saham, pasar surat utang pemerintah dan pasar utang swasta. Karena kondisi yang tidak stabil merupakan lahan yang empuk bagi kegiatan spekukasi. Pasar ini akan menghasilkan hot money. Uang bisa masuk dengan cepat dan bisa keluar sekaligus.

Bahkan pada tingkat resiko ekonomi yang tinggi para investor pasar uang bisa menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda, dari hasil spekulasi itu sendiri dan dari kebijakan pemerintah dan juga keputusan swasta. Resiko ekonomi yang tinggi bahkan seringkali didesain oleh investor dan pasar sehingga bisa memaksa pemerintah meningkatkan suku bunga dan imbal hasil bagi para investor yang masuk ke dalam pasar surat utang swasta, BUMN dan pemerintah.

Hal ini yang membuat investasi langsung menjadi kurang diminati, apalagi investasi yang tidak berorientasi ekspor, dan hanya mengandalkan pendapatan dalam mata uang rupiah. Investasi mereka akan tergerus oleh fluktuasi mata uang yang sifatnya sangat ekstrim. Sebagaimana yang terjadi dalam satu kwartal terakhir rupiah melemah sangat dalam dan dalam sepekan bisa menguat kembali significant. Ini adalah bencana bagi investasi langsung.

Dalam kondisi ini mereka akan lebih memilih melakukan investasi hot money, di mana keuntungan bisa ditarik dengan cepat dan bisa bermain kembali. Jadi Indonesia akan menjadi meja judi mereka dalam mengambil keuantungan dari kegiatan spekulasi. Atau investasi dalam surat utang negara setelah terlebih dahulu memaksa pemerintah menaikkan suku bunga dan imbal hasil atas investasi mereka.

Perhatikan Sri Mulyani bahkan telah menjual surat utang Pemerintah dengan bunga sebesar 11,625 persen ini tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Jadi keadaan inilah yang disukai investor yang membuat mereka lebih memilih pasar uang dibandingkan melakukan investasi langsung karena untungnya sangat besar dan lebih past karena akan dibayar dengan pajak rakyat dan jaminannya adalah aset negara.

Masalah Ketidakpastian Kebijakan

Kondisi makro ekonomi yang tidak stabil, dolar yang naik turun, suku bunga global yang cenderung naik, dan secara keseluruhan fundamental ekonomi Indonesia yang buruk akhirnya membuat pemerintah mengubah kebijakan untuk menyiasati keadaan dengan cepat. Masalah ini menimbulkan persepsi bahwa uncertainty atau ketidakpastian bagi kalangan investor. Silakan anda baca sendiri seluruh review para analis internasional tentang UU dan hukum di Indonesia, begitu menakutkan.

Sementara secara kasat mata memang fundamental ekonomi Indonesia sangat buruk. Fundamental ekonomi itu seperti neraca eksternal, kondisi APBN, tingkat inflasi. Seluruh variabel dalam neraca eksternal defisit, seperti neraca perdagangan defisit, neraca migas defisit, neraca jasa jasa defisit, neraca pendapatan primer defisit. Tidak ada satu bagian pun yang surplus. Tentu investor mudah melihat masalah ini dan menentukan investasi mereka di Indonesia.

Sementara siasat pemerintah dalam menghadapi masalah ini justru dengan mengubah kebijakan dengan cepat. Sebagai contoh pemerintah setiap tiga bulan sekali mengeluarkan paket kebijakan yang menjadi acuan ekonomi. Kebijakan yang berubah dengan cepat semacam ini membuat investor sulit membaca regulasi di Indonesia dan sulit membuat proyeksi ke depan.

Bahkan kebijakan yang paling strategis seperti kebijakan sektor energi begitu cepat berubah ubah. Kementerian ESDM adalah kementrian yang paling produktif mengubah kebijakan, misalnya kebijakan bagi hasil migas dari PSC ke grossplit, kebijakan harga batubara acuan, kebijakan divestasi bidang pertambangan dan lain-lain. Belum lagi kebijakan menteri keuangan mulai dari kebijakan bea masuk, kebijakan cukai yang tidak pasti dan lain sebagainya.

Di bidang perdagangan juga demikian kebijakan kuota impor yang berubah ubah, peraturan menteri perdagangan tentang kuota impor yang dibuat tapi tidak dilaksanakan, dan segudang kebijakan lainnya. Di bidang investasi kebijakan lokak konten sampai sekarang tak pasti nasibnya.

Padahal investasi langsung membutuhkan prasarat utama yakni kondisi makro ekonomi yang stabil, tidak ada benturan UU, kebijakan pemerintah yang pasti dalam jangka waktu yang panjang dan kelembagaan ekonomi yang mendukung dan tidak ada perseteruan kepentingan antar lembaga. Kondisi stabilitas inilah yang tidak ada di Indonesia selama ini.

Meskipun pemerintah merevisi DNI setiap minggu sekali, sulit memancing minat investasi. Jangankan investor, kita rakyat biasa kuatir bagaimana nasib ekonomi kita ke depan, semua resah. [***] 


Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA