"Itu tercermin dari harga rata-rata barang impor non migasnya turun -2,5 persen (mtm) dari 1.290 dolar AS per ton jadi 1.258 dolar AS per ton. Tapi nilai impornya justru naik signifikan. Artinya nilai impor bengkak karena selisih kurs rupiah dan dolar," kata Bhima kepada Rakyat Merdeka, Senin (25/6).
Sementara pada bulan Mei, lanjut Bhima, terutama menjeÂlang Lebaran permintaan konÂsumsi BBM yang naik sehingga membuat defisit migas menjadi 1,2 miliar dolar AS. Jumlah itu melebihi defisit periode yang sama tahun 2017 yakni 497 juta dolar AS. "Tekanan harga minyak yang mahal diprediksi akan memperburuk neraca miÂgas hingga akhir tahun ini," ujarnya.
Jika terus berlanjut, menurut Bhima, defisit dagang akan memuÂkul kurs rupiah akibat permintaan valas terutama dolar meningkat untuk kebutuhan impor.
Bhima mewanti-wanti keÂmungkinan terjadi gelomÂbang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor yang terkena dampak pelemahan ekspor khususnya di komoditas perkebunan dan pertambangan. Menurutnya, penurunan kinerja ekspor akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. "Target 5,4 persen nampaknya bakal meleset menjadi 5,1 persen alias melanjutkan stagnasi ekonomi dalam jangka panjang," samÂbung Bhima.
Bhima juga meminta pemerintah mencermati efek perang dagang khususnya di sektor otomotif Eropa. Hal itu berpoÂtensi menggerus ekspor karet sebagai bahan baku komponen otomotif.
"Exit strategy lain yang perlu dilakukan pemerintah adalah segera membuat pertemuan bilateral dengan AS, China, India dan negara Uni Eropa untk memitigasi dampak perang daÂgang. Selain itu Pemerintah dan pengusaha diharapkan mengamÂbil sikap oportunistik untuk meÂmanfaatkan celah perang dagang ini," tegasnya. ***
BERITA TERKAIT: