"Pengawasan mereka sangat lemah, tidak efektif. Bubarkan saja karena tidak ada manfaatÂnya, hanya membebani keuanÂgan negara," kata Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman, di Jakarta, kemarin.
Menurut Yusri, BPH Migas memang tidak bekerja seperti yang diamanahkan melalui Perpres Nomor 141 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
Dalam hal ini, seharusnya BPH Migas melakukan penÂgawasan secara menyeluruh terhadap distribusi BBM. Tapi nyatanya, lanjut Yusri, badan tersebut tidak bisa mendeteksi banyaknya dugaan pelanggaÂran distribusi.
Dia mencontohkan, di berÂbagai daerah banyak terjadi BBM yang tidak tepat sasaran. Semisal, banyaknya kalangan industri yang diduga mengÂgunakan BBM penugasan. Harusnya, BPH Migas menÂdeteksi pelanggaran tersebut sejak awal.
BPH Migas, lanjut dia, bisa bekerja sama dengan pihak kepolisian dan melakukan semacam operasi intelijen. "Mereka punya anggaran tetapi diam saja atau pura-pura tidak tahu. BPH Migas baru teriak ketika sudah terjadi gejolak atau ketika mahasiswa melakuÂkan demo," tegas Yusri.
Tidak hanya itu. Yusri juga menduga, bahwa BPH Migas tidak melakukan pengawasan terhadap kualitas BBM . Hal ini tentu sangat rawan, karena yang dirugikan adalah masyarakat sendiri.
"Pernah tidak mereka melakukan uji petik terhadap kualiÂtas di tempat yang jauh dari kota? Sejauh ini tidak pernah. Padahal, yang seharusnya melakukan kontrol adalah BPH Migas," lanjut dia,
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin juga mendesak pembubaran BPH Migas. Menurutnya, banyak pernyataan BPH Migas yang tidak memperlihatkan kapasitas memadai. Salah satu contoh, ketika BPH Migas mempersoalkan sedikitnya konsumsi Premium.
Padahal penurunan terjadi, antara lain karena perkemÂbangan kendaraan terbaru yang memang diperuntukÂkan bagi BBM dengan oktan tinggi. Belum lagi terbitnya Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.20/MENLHK/Setjen/KUM.1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. Selain itu, tentu saja hasil penelitian antara KPBB dan Universitas Indonesia tentang emisi Premium yang menyebabkan kanker.
Sebelumnya, BPH Migas memperkirakan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) sepanjang tahun 2018 sebesar 75 juta kilo liter (KL). Kepala BPH Migas Fanshurulloh menÂgatakan jumlah itu dibagi menjadi jenis BBM tertentu (JBT) sekitar 16,2 juta KL untuk solar dan minyak tanah, jenis BBM khusus penugasan (JBKP), dan jenis BBM umum (premium, pertalite, pertamax) sekitar 51,3 juta KL.
Jenis BBM tertentu yakni bensin jenis solar dan minyak tanah, BBM khusus penugasan adalah bensin dengan RON 88 atau premium dengan harga khusus ditetapkan pemerintah. Sementara jenis BBM umum bensin non subsidi mulai dari Oktan 88 ke atas.
Dari jumlah itu, PT Pertamina (Persero) mengelola sekitar 79 persen dari total kuota BBM nasional sepanjang tahun ini yang terdiri dari 15,9 juta KL untuk solar dan minyak tanah, dan premium khusus untuk luar Jawa, Bali dan Madura sebanyak 7,5 juta KL. ***
BERITA TERKAIT: