Keputusan itu disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, kemarin. "1 Januari-31 Maret 2018 tarif listrik tetap tidak ada kenaikan. Seperti periode bulan sebelumnya. Lalu harga eceran BBM untuk yang gas ron 88 atau premium, dan biosolar itu juga ditetapkan harganya sama atau tidak naik untuk periode 1 Januari sampai 31 Maret 2018," ujar Jonan.
Artinya, untuk tarif listrik tetap berlaku untuk tegangan rendah (TR) Rp 1.467,28 per kWh, golongan 900 VA rumah tangga mampu (RTM) Rp 1.352 per kWh, tarif listrik tegangan menengah (TM) Rp 1.114,74 per kWh, tarif listrik tegangan tinggi (TT) Rp 996,74 per kWh, dan tarif listrik di layanan khusus Rp 1.644,52 per kWh. Sementara, untuk BBM bersubsidi jenis Premium tetap Rp 6.550 per liter dan solar subsidi Rp 5.150 per liter.
Jonan mengatakan, tidak naiknya tarif ini mempertimbangkan daya beli masyarakat. "Penetapan pemerintah tidak naik ini karena satu-satunya itu mempertimbangkan daya beli masyarakat," kata Jonan.
Pada kesempatan yang sama, Dirut PT PLN (Persero) Sofyan Basir mengatakan pihaknya telah memahami dan mencoba untuk tak menaikkan tarif listrik pada periode 1 Januari hingga 31 Maret 2018. PLN akan melakukan berbagai upaya efisiensi agar tarif listrik bisa terjangkau masyarakat.
"Prinsipnya kami memahami, dan kami mencoba untuk melihat biaya-biaya lain yang bisa kami lakukan efisiensi. Cashflownya masih mencukupi, ada pembayaran subisidi dari pemerintah. (Efisiensinya) Itu banyak sekai, operation maintenance, zonasi batu bara, kualitas batubara juga kita cari yang terbaik. Pokoknya kita lakukan efisiensi yang terbaik," kata Sofyan.
Di sektor setrum, tidak naiknya tarif listrik ini sepertinya tidak ada masalah. Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka turut bercerita justru dalam tiga tahun terakhir tren tarif listrik cenderung turun
"Itu kalau kita lihat, trennya sudah tiga tahun ini. Terakhir ada tarif adjusment 1 Januari 2017. Justru itu bukan naik, itu turun Rp 6/kWh. Untuk 18 golongan non subsidi," kata Made. "Pada tanggal 1 Januari itu mulai program pencabutan subsidi yang 900VA. Jadi bukan kenaikan itu ya, tapi pencabutan subsidi," kata Made.
Tapi tidak bagi urusan BBM. Dirut PT Pertamina (Persero), Elia Massa Manik, mengatakan pihaknya akan melakukan berbagai langkah efisiensi agar harga BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Pasalnya, saat ini harga minyak dunia justru sedang naik.
"Satu, efisiensi. Ini ada tiga. Satu yang klasik. Misal kalau dulu pemakaian material 100, kita turunkan ke 90, 80. Kedua, harga. Nanti kita ceritakan di Januari berapa efisiensinya 6 bulan terakhir. Ketiga business model. Perubahan business model, yang tadinya distock, kita enggak stock lagi, itu lebih murah dan cash flow lebih baik. Itu banyak kita lakukan di kilang dan downstream," kata Elia.
Elia menjelaskan, saat ini ada selisih harga Premium dan Solar penetapan pemerintah dengan harga di pasar karena harga minyak dunia terus merangkak naik. Sampai November 2017, rata-rata harga minyak dunia sudah tembus US$ 50 per barel, sedangkan periode yang sama tahun lalu berada di level US$ 38 per barel.
"Kita harus bicara average, memang dia (minyak dunia) naik. Nanti kita lihat tiga bulan, apakah ini turun atau tidak. Jadi kalau kita lihat sampai November itu harga crude rata-rata US$ 50 per barel, tahun lalu US$ 38 per barel," tutup Elia.
Direktur Pemasaran Pertamina, M Iskandar mengamini jika penjualan BBM bersubsidi di Tanah Air saat ini lebih murah dari harga pasar. Artinya, Pertamina menanggung selisih harga tersebut.
Diungkapkan, antara harga jual Premium penugasan yang ditetapkan pemerintah saat ini dengan harga pasar ada selisih Rp 1.000 per liter. Sedangkan selisih harga solar subsidi dengan harga pasar mencapai Rp 2.000 per liter. "Rp 1.000 lebih untuk Premium, Solar Rp 2.000 lebih," tuturnya.
Terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga memastikan pemerintah tidak menaikkan tarif listrik dan BBM bersubsidi. Sekalipun, harga minyak dunia saat ini sedang naik, namun dalam APBN 2018, tarif listrik dan BBM diasumsikan tidak naik. "APBN 2018 mengasumsikan tidak ada kenaikan harga listrik dan BBM," tegas Sri Mul di Hotel Four Seasons, Jakarta, kemarin.
Dia mengungkapkan, pemerintah telah bersiap menyesuaikan anggaran subsidi apabila harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan. Saat ini, menurut Sri Mulyani, pihaknya terus memantau perkembangan harga komoditas dunia yang berpotensi mempengaruhi Indonesia.
Ekonom INDEF, Ahmad Heri Firdaus berpendapat saat ini pemerintah sedang menghadapi dilema ekonomi. Di satu sisi, keuangan negara terbebani dengan tidak menaikkan tarif litrik dan BBM, di lain sisi rakyat akan terbebani jika harga dinaikkan.
"Menaikkan harga listrik dan BBM bukan hanya bikin rakyat ngamuk, tapi menurunkan elektabilitas pemerintah juga. Presiden Jokowi juga pasti menjaga elektabilitasnya di tahun politik," ujar Heri kepada
Rakyat Merdeka. Heri menyarankan, pemerintah berhati-hati jika menaikkan harga BBM. Pasalnya, ini akan menjadi efek domino bagi ekonomi nasional, utamanya daya beli masyarakat. Otomatis, jika BBM naik, harga komoditi lainnya ikut naik. Rakyat, semakin melarat. "BBM naik, inflasi. Semua sektor daya beli tergerus," tegasnya.
Nah, tidak menaikkan harga BBM saat harga minyak dunia naik juga jadi masalah baru. Pasalnya, Pertamina akan terus menanggung kerugian selisih harga dunia dengan Indonesia yang saat ini berada di bawah rata-rata.
"Pertamina yang nanggung ruginya. Bisa saja pemerintah akal-akalan dengan melangkakan BBM bersubsidi. Tapi itu merugikan rakyat, dan akan ngamuk. Harusnya beli Premium justru ke Pertalite atau Pertamax. Nah, cost belanja lainnya pasti terpotong," pungkasnya. ***
BERITA TERKAIT: