Tidak ada gading yang tidak retak. Tidak ada satupun yang sempurna dalam kehidupan yang fana ini. Begitupun dengan rencana strategis pembentukan Holding BUMN Pertambangan ini juga tentunya memiliki keunggulan, kelemahan, peluang dan tantangan (ancaman) tersendiri. Harus juga diakui bahwa langkah kebijakan strategis ini tetap memiliki polemik antara yang pro dan kontra, antara yang mendukung dan tidak mendukung, antara yang percaya dan yang tidak percaya, akan keberhasilannya kedepan.
Sejatinya, BUMN Pertambangan adalah merupakan salah satu bentuk perwujudan dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang menyatakan secara tegas dan jelas bahwa bumi dan air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi, wajar saja jika seluruh rakyat ikut berpendapat dan berkomentar terkait kebijakan strategis negara yang menyangkut hajat hidup orang banyak ini.
Jika Kita kaji secara komprehensif rencana pembentukan Holding BUMN Pertambangan yang rencananya secara ‘de facto’ dan ‘de jure’ akan dilaksanakan besok pada hari Rabu tanggal 29 November 2017 melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) secara berurutan 3 BUMN Tambang yang juga merupakan perusahaan publik (terbuka), maka sebelumnya ada empat catatan penting yang perlu kita cermati bersama.
Pertama, keunggulan dari pembentukan Holding BUMN Pertambangan ini adalah terbentuknya perusahaan induk dengan ekuitas dan aset raksasa yang diharapkan bisa masuk dalam jajaran perusahaan pertambangan peringkat atas di percaturan bisnis global. Sebagai bagian dari aksi korporasi, sesungguhnya yang terjadi dalam pembentukan holding BUMN Pertambangan ini adalah pemindahan status kepemilikan saham mayoritas Dwi Warna atas nama pemerintah RI pada 3 BUMN yang sudah ‘go public’ (Bukit Asam, Antam dan Timah) kepada BUMN lainnya yakni PT (Persero) Inalum yang sekarang ini 100 persen sahamnya sudah dimiliki oleh negara. Akibatnya terjadi konsolidasi aset, liabilitas dan ekuitas dari keempat BUMN Pertambangan ini menjadi kekuatan besar, sehingga secara otomatis kemampuan induk perusahaan untuk melakukan berbagai aksi korporasi seperti akuisisi perusahaan dan yang lainnya akan semakin mudah, karena didukung oleh aset, ekuitas, likuiditas dan solvabilitas yang sangat besar dari perusahaan holding BUMN Pertambangan yang baru dibentuk.
Aspek kedua, yakni kelemahannya adalah perusahaan induk baru yakni PT (Persero) Inalum harus bisa mengatasi semakin panjangnya rantai pengawasan terhadap anak dan cucu perusahaan dari ketiga BUMN Pertambangan yang bergabung, karena sudah sekian lama masih sangat banyak anak dan cucu perusahaan BUMN pertambangan tersebut yang memiliki laporan keuangan merugi atau masih tinta merah. Konsolidasi dari empat BUMN Pertambangan ini menjadi satu secara otomatis juga mempersatukan ‘liabilitas’ dan risiko dari seluruh hutang dan kewajiban anak dan cucu perusahaan dari masing-masing BUMN Pertambangan tersebut.
Untuk mengatasinya, maka sudah saatnya Pemerintah RI melalui Kementerian BUMN memasukkan aspek kinerja dan performansi keuangan anak dan cucu perusahaan BUMN sebagai bagian dari ‘key performance index (KPI)’ yang mengukur keberhasilan kinerja dari Dewan Komisaris dan Direksi BUMN. Jangan sampai dianggap remeh kinerja dan performansi keuangan dari anak dan cucu perusahaan BUMN, karena akumulasi dari kerugian dan kegagalan seluruh anak dan cucu perusahaan BUMN bisa mengurangi secara signifikan aset dan ekuitas dari perusahaan induknya.
Harus selalu Kita ingat, salah satu hukum abadi dalam kehidupan khususnya terkait bisnis dan investasi yaitu “don’t put your eggs in one basketâ€. Risikonya jika dilanggar, jika sekali saja jatuh satu keranjang, maka akan pecahlah seluruh telur yang Kita punya. Artinya, pemerintah RI melalui Kementerian BUMN harus ekstra hati-hati memilih siapapun yang menjadi Chief Executive Officer (CEO) atau komandan tertinggi dari seluruh holding BUMN. Sudah menjadi rahasia umum, sangat mudah dan sering terjadi istilah ‘personalisasi kekuasaan’ oleh siapapun yang diberi amanah jadi komandan atau pemimpin tertinggi dalam organisasi apapun termasuk BUMN.
Jika sampai salah memilih orang yang menjadi CEO (Dirut BUMN), maka sangat mungkin terjadi sang CEO terlena dan secara perlahan akhirnya mempersonifikasikan dirinya seperti seorang Raja. Sang CEO mengkonsolidasikan dengan segala cara agar semua kekuasaan dalam perusahaan terpusat pada dirinya. Inilah fakta sesungguhnya yang terjadi hingga sampai banyak CEO atau Dirut BUMN yang akhirnya dijadikan tersangka oleh aparatur penegak hukum di negara Kita. Untuk mengatasinya, Kementerian BUMN harus cerdik dan cerdas memilih siapa saja yang menjadi pengawas atau Komisaris dari seluruh Holding BUMN. Kementerian BUMN harus betul-betul jernih dan objektif memilih figur yang betul-betul memiliki kecerdasan dan kemampuan, serta keberanian dan integritas moral yang sudah teruji untuk mengawasi CEO dan Direksi Holding BUMN, agar terwujud sistem ‘check & balances’ yang sehat dan kuat antara Dewan Komisaris (BOC) dan Dewan Direksi (BOD).
Aspek ketiga yakni peluang yang dimiliki dari pembentukan Holding BUMN Pertambangan ini adalah kemampuan untuk berhutang dalam jumlah besar dimungkinkan karena didukung oleh konsolidasi aset, ekuitas dan solvabilitas yang sangat besar sehingga otomatis kemampuan untuk melakukan berbagai aksi keuangan (financial action) menjadi lebih besar. Secara otomatis, rencana Pemerintah RI untuk mengambil alih kepemilikan saham mayoritas di Freeport bisa diwujudkan melalui holding BUMN Pertambangan yang baru, yakni PT (Persero) Inalum. Pembentukan holding BUMN Pertambangan ini secara taktis dan sistematis juga menjadi peluang untuk membangun ulang budaya perusahaan (corporate culture) agar sumber daya manusia yang ada di seluruh BUMN Pertambangan meninggalkan kultur zona nyaman (comfort zone) yang selama ini mengakar di BUMN kita.
Aspek yang keempat, yakni tantangan yang dihadapi paska pembentukan Holding BUMN Pertambangan yaitu perlunya segera dilakukan deregulasi payung hukum tertinggi yang mengatur seluruh BUMN Kita yakni Undang-Undang Tentang BUMN. Sebelum disahkan, Undang-Undang BUMN baru tersebut juga harus diharmonisasikan terlebih dahulu dengan peraturan perundangan-undangan yang sederajat seperti Undang-Undang Tentang Minerba, Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Tentang OJK dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Perlu Kita ingat selalu bahwa rezim hukum yang mengatur tentang bisnis dan aset utama BUMN Pertambangan adalah pemberian izin usaha pertambangan (konsesi) oleh negara. Karenanya tidak cukup hanya dipayungi oleh Peraturan Pemerintah seperti yang saat ini menjadi dasar hukum pembentukan Holding BUMN oleh Kementerian BUMN.
Walaupun gugatan hukum dan penolakan terhadap PP nomor 72 tahun 2016 sudah ditolak oleh Mahkamah Agung (MA), akan tetapi secara ‘an sich’ hirarki sumber hukum dan peraturan perundang-undangan yang baku dan berlaku di negara Kita, setelah konstitusi UUD 1945 maka sumber hukum tertinggi kedua adalah Undang-Undang. Sepantasnya dan sewajarnyalah jika pembentukan Holding BUMN Pertambangan sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 diperkuat oleh payung hukum dibawahnya yakni Undang-Undang tentang BUMN yang terbaru. Ada banyak alasan strategis dan taktis berdasarkan temuan dan fakta-fakta lapangan yang menjadi alasan penting dibalik uraian ini. Rekomendasi ini sangat penting sehingga diklasifikasikan sebagai tantangan (ancaman), karenanya perlu segera ditindaklanjuti oleh Pemerintah RI melalui Kementerian BUMN sebagai pengelola, serta Kementerian Keuangan sebagai pemilik hak atas kekayaan negara yang ada pada seluruh BUMN di negara Kita.
Sebagai penutup, dalam era demokrasi dan digitalisasi ini, wajar-wajar saja jika sebagian publik ada yang skeptis dan menyatakan kekhawatiran bahwa pembentukan Holding BUMN ini bisa dijadikan celah untuk menjual atau melepas aset strategis BUMN Pertambangan Kita. Kekhawatiran ini hanya bisa dijawab dengan waktu oleh Kementerian BUMN serta khususnya Dewan Komisaris (BOC) dan Dewan Direksi (BOD) Holding BUMN Pertambangan. Bahwa memang akan terbukti kebijakan strategis pembentukan Holding BUMN Pertambangan ini benar-benar dan sungguh-sungguh untuk mewujudkan amanah yang dikandung dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 45 yang muara akhirnya adalah untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan pembangunan nasional Kita, yakni untuk mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil dan makmur.
[***]
Presiden Negarawan Center; Komisaris Independen & Ketua Komite Audit PT (Persero) Bukit Asam Tbk
BERITA TERKAIT: