Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta menegaskan, bahwa industri ritel sendiri sangat tergantung sekali denÂgan daya beli konsumen. Jika menyerahkan perbaikan kondisi pada mekanisme pasar maka akan membutuhkan waktu yang panjang.
"Membuat bisnis berjalan mulus lagi membutuhkan waktu, pemulihan ritel itu tidak mudah dan prosesnya panjang apalagi dalam kondisi seperti saat ini," kata Tutum kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Secara umum dalam kondisi negara normal menurunnya daya beli terjadi karena dua faktor. Faktor pertama dari peritel dan kedua disebabkan regulasi peÂmerintah. Faktor pertama daya beli kedodoran karena bisnis ritel tidak cocok dengan keinginan pasar. Kesimpulan perÂtama karena kesalahan peritel. Namun penurunan daya beli saat ini sudah terasa lebih dari tiga tahun belakangan.
"Berbagai strategi dagang suÂdah kami lakukan seperti diskon dan pemberian bonus sudah tapi belum mendongkrak industri," katanya.
Faktor kedua adalah reguÂlasi dari pemerintah. Jika aturan main yang diberikan memberatkan pelaku usaha atau pun membebani konsumen otomatis daya beli turun.
"Di negara manapun semua indikator dan regulasi penduÂkung ada di tangan Kementerian terkait," katanya.
Pemerintah mesti sigap merespons ini. Dia mengingatkan, tutupnya toko-toko di Glodok, anjloknya bisnis tekstil hingga tutupnya gerai Sevel, mestinya jangan cuma menjadi bahan evaluasi pengusaha saja tapi juga pemerintah sebagai regulator.
"Pemerintah melalui regulasinya punya kemampuan mengÂatur seperti menetapkan suku bunga, mengatur situasi, dan banyak lagi," tutur dia.
Ketua Umum Kadin IndoneÂsia Rosan P Roeslani meminta kepada pemerintah untuk memÂbebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi masyarakat yang berbelanja. "Cara ini untuk mendongkrak daya beli dan mendorong konsumsi rumah tangga bikin saja kebijakan pembebasan PPNuntuk orang yang makan dan belanja selama 1-2 minggu," terangnya.
Rosan mengaku telah meÂnyarankan kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati untuk memberikan stimulus perpajakan, seperti penurunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan maupun pembeÂbasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi masyarakat.
"Sudah, saya sudah bicarakan langsung, pembebasan PPN untuk membuat lonjakan saja," sarannya.
Langkah stimulus berupa keringanan pajak, dinilai RoÂsan mampu meningkatkan keÂpercayaan masyarakat untuk kembali membelanjakan uangÂnya. Dengan demikian, konÂsumsi rumah tangga tumbuh dan mampu mengerek pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. "Jangan malah pajak dikencengin yang bikin orang takut spending atau belanja," jelasnya.
Daya beli menurun tidak hanya karena masyrakat tak punya keÂmampuan membeli tapi karena faktor kenyamanan. Masyarakat merasa risih jika harus membeli barang dengan harga tinggi apalagi barang tersebut bukan kebutuhan primer. "Ini kan masalah nyaman, sebenarnya duit ada tapi semua lagi pada naruh di bank. Kalau mau perÂekonomian jalan, kita harus spending," tuturnya.
Jika hal ini terus dibiarkan, ekonomi tidak bertumbuh sesuai harapan. Sebab, sumber utama pertumbuhan ekonomi berasal dari konsumsi rumah tangga.
Sedang Dikaji Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berjanji, akan mengevaluasi penyebab pelemahan daya beli masyarakat, termasuk masalah perpajakan. "Nanti kita evaluasi sumber-sumber yang menyebabkan masalah pengurangan daya beli, apakah memang faktornya itu (pajak)," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah suÂdah mengalokasikan anggaran atau belanja pemerintah, baik dalam bentuk dana desa, transÂfer tunai untuk program pengentasan kemiskinan dan kesenjangan yang diharapkan dapat memacu daya beli masyarakat. "Kan sudah banyak sekali dari belanja pemerintah yang diberiÂkan langsung ke masyarakat, dalam bentuk transfer tunai, dana desa, Program Keluarga Harapan (PKH). Itu diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat," terangnya. ***
BERITA TERKAIT: