Arcandra Ceritakan Pengalamannya garap Blok Migas Di Peru

Pede Mampu Ngebor Blok Natuna

Rabu, 07 Desember 2016, 09:05 WIB
Arcandra Ceritakan Pengalamannya garap Blok Migas Di Peru
Foto/Net
rmol news logo Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengungkap­kan, masalah teknologi salah satu penyebab terhambat­nya eksplorasi di Blok East Natuna. Padahal, cadangan gas di tempat tersebut sudah ditemukan 43 tahun lalu. Namun demikian, Arcandra pede dengan pengalamannya menggarap lapangan migas di Peru, masalah tersebut bisa diatasi.

Arcandra menceritakan, pa­da tahun 2010 dirinya pernah diminta membuat alat penge­bor minyak di sebuah lapangan marjinal di Peru yang kondis­inya mirip Natuna. "Kita lihat dalamnya 54 meter, hampir sama dengan Natuna. Mereka minta tahan gempa sampai 9,5 skala richter. produksinya 10.000 bph (barel per hari), dan didesainkan 24 wheel," ungkap Arcandra di Jakarta, kemarin.

Dengan menghabiskan wak­tu selama dua tahun, lanjut Arcandra, dirinya berhasil menyelesaikan riset pembua­tan alat pengeboran untuk lapangan marginal di Peru. Yakni dimulai pada Januari 2011 dan selesai Oktober 2012. Menurutnya, pemasangan alat tersebut tidak menggunakan crane karena lapangan be­rada di daerah terpencil. Alat pengeboran dibuat seperti mainan lego, bisa dipasang dan dipindah-pindahkan tanpa crane. "Saat ini lapangan min­yak di Peru masih berproduksi. Dengan alat yang tergolong murah," ungkapnya.

Arcandra melihat, teknologi di Peru bisa dibawa ke Natuna. Hanya saja, untuk membawan­ya membutuhkan waktu cukup lama, sekitar 5 tahun. Semen­tara, banyak orang pasti ber­tanya kalau gagal bagaimana, apalagi menggunakan dana APBN.

Arcandra berharap, In­donesia harus lebih berani mengambil risiko. Karena, bila teknologi-teknologi baru tidak bisa segera masuk ke Indonesia, pengembangan lapangan-lapangan minyak yang marginal sulit diperce­pat. "Yang namanya lapan­gan marginal harus bisa di-develop. Tanpa teknologi, saya pesimis. Kalau pakai teknologi eksisting, cost-nya mahal, nggak ekonomis," ucapnya.

Soal kontrak kerja sama, Arcandra mengaku, sampai saat ini Kementerian ESDM belum menandatangani Pro­duction Sharing Contract atau kontrak bagi hasil (PSC) Blok East Natuna.

Namun demikian, PSC telah ditawarkan kepada konsor­sium Pertamina, Exxon Mobil dan PTT EP Thailand dengan bagi hasil minyak sebesar 40 persen.

"Seharusnya kontrak tersebut sudah ditandatangani pada 14 November 2015. Namun karena beberapa hal yang dirasa tidak menguntungkan, pemerintah memutuskan untuk menunda teken kontrak Blok East Na­tuna," pungkasnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA