Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Waspada Skema Baru Bagi Hasil Investor Migas Bikin Negara Tekor

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Sabtu, 10 September 2016, 03:30 WIB
Waspada Skema Baru Bagi Hasil Investor Migas Bikin Negara Tekor
Foto: Net
rmol news logo Rencana pemerintah mengubah skema kontrak bagi hasil alias production sharing contract (PSC) investasi di di hulu minyak dan gas bumi mendapat kritikan tajam.

Salah satunya dari Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman melalui keterangan tertulis yang diterima redaksi.

Perubahan skema bagi hasil investor migas akan tertuang dalam revisi Peraturan Pemerintah ( PP) No. 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Migas yang tengah dipercepat penyelesaiannya.
       
Yusri memaparkan, selama ini skema bagi hasilnya adalah 85:15. Namun akan diubah menjadi kisaran 60:40 dan 70:30. 

Padahal faktanya, ulas Yusri, konsep bagi hasil yang ada sekarang saja, berdasarkan data dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor migas pada 2015 lebih kecil dibandingkan dengan tingkat pengembalian biaya eksplorasi (cost recovery) yang dibayarkan ke kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS).

Merujuk keterangan Kepala SKK Migas Amin Sunaryadi pada rilis awal tahun 2016, realisasi PNBP Migas hingga akhir tahun 2015 diprediksi hanya sebesar 12,25 miliar dolar AS atau 81,72 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015. Sedangkan cost recovery diperkirakan mencapai 13,82 miliar dolar AS.

"Sehingga negara tekor sebesar 1,57 miliar dolar AS atau setara Rp 20 triliun, dan fakta mencatat sejarah selama SKK Migas didirikan oleh UU Migas nomor 22 tahun 2001," lanjut Yusri.

Kebijakan mengubah skema bagi hasil investor migas dinilainya harus dikaji dengan seksama dan diawasi ketat agar tidak disalahgunakan oleh oknum pejabat migas, yang bermain mata dengan kontraktor KKS.

Lebih jauh Yusri mengingatkan, jangan sampai perubahan PP 77 tahun 2010 dilakukan secara terburu-buru dengan alasan memacu aktivitas di hulu untuk pertumbuhan ekonomi seperti disampaikan Plt Menteri ESDM, Luhut Binsar Panjaitan.

"Akhirnya kita hanya dapat ampasnya saja atau penyakitnya, karena faktanya permainan mark up atau korupsi itulah yang sudah terbukti membuat sektor migas kita memble," kritiknya.

Anggota VII Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Qosasi beberapa waktu lalu telah merilis praktik penggelembungan besaran cost recovery di sektor hulu migas dilakukan secara sengaja dan berulang oleh tujuh kontraktor KKS di enam wilayah kerja migas sejak beberapa tahun lalu.

Tujuh wilayah kerja yang dimaksud meliputiBlok South Natuna Sea B” yang dikelola oleh ConocoPhillips Indonesia Inc. Ltd; Blok Corridor yang digarap ConocoPhillips (Grissik) Ltd; Blok Rokan yang dikelola oleh PT Chevron Pacific Indonesia.

Blok Eks Pertamina yang dioperatori PT Pertamina EP; Blok South East Sumatra yang digarap CNOOC SES LTD;Blok Mahakam yang dikelola Total E &P Indonesie dan INPEX Corporation; dan Blok Natuna Sea A kelolaan Premier Oil Natuna Sea B.V.

"Pertama, kami sudah menyampaikan hal ini kepada Kementerian ESDM dan SKK Migas agar menertibkan KKKS. Karena KKKS ini selalu berusaha menggunakan, mencoba-coba reimburse ke negara, barangkali saja tidak ketahuan BPK. Ternyata tiap tahun ketemu, ini temuan berulang, dan polanya sama," ujar Achsanul.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA