21 Pengusaha Smelter Tolak Relaksasi Ekspor Mineral

Takut Kekurangan Pasokan Bahan Baku

Kamis, 08 September 2016, 08:56 WIB
21 Pengusaha Smelter Tolak Relaksasi Ekspor Mineral
Foto/Net
rmol news logo Sebanyak 21 pengusaha smelter mineral yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemur­nian Indonesia (AP3I) menolak rencana pemerintah yang akan melonggarkan ekspor mineral mentah (ore). Kebijakan pe­merintah itu akan mengganggu pasokan.

Hal tersebut dikatakan oleh Ketua Umum AP3I Prihadi San­toso saat memberikan keteran­gan di kantornya, kemarin.

Menurut dia, apabila ekspor mineral mentah dilonggarkan lagi, komitmen pemerintah dalam hilirisasi mineral bakal dipertanyakan oleh masyarakat luas. Apalagi, kebijakan hil­irisasi mineral diatur melalui Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

"Karena itu, kami menolak relaksasi ekspor mineral men­tah karena bertentangan den­gan Undang-Undang Minerba, dan peraturan yang berlaku," ujarnya.

Pihaknya juga khawatir, pe­longgaran ekspor mineral men­tah akan mengganggu pasokan bahan baku untuk pabrik smelter dalam negeri yang telah berdiri dan beroperasi. Pelonggaran ekspor juga dikhawatirkan juga akan membuat harga bahan baku pabrik menjadi lebih mahal.

Untuk itu, AP3I mereko­mendasikan agar pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pem­binaan, dan Pengembangan Industri. Menurut Prihadi, ini perlu dilakukan agar mengakhiri dualisme perizinan dan pembi­naan industri smelter.

"AP3I memberikan rekomen­dasi agar industri tidak melaku­kan ekspor untuk memenuhi permintaan kebutuhan industri smelter yang telah beroperasi selama ini," kata Prihadi.

Sementara, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Ladji­man Damanik menyambut baik relaksasi yang dijanjikan pemer­intah. Namun, ia menegaskan, relaksasi jangan sampai hanya menguntungkan beberapa peru­sahaan tertentu saja.

"Kalau mau buka, buka saja semua. Jadi tidak menguntung­kan sebagian perusahaan saja," ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Menurutnya, selama ini ke­longgaran yang diberikan pe­merintah hanya menguntungkan beberapa perusahaan. Teru­tama perusahaan asing seperti Freeport dan Newmont. "Tapi apa benar revisi kali ini tidak mengakomodasi Freeport?" tuturnya.

Ia mengungkapkan, banyak yang tidak sesuai antara Undang-undang Minerba dan produk turunannya, baik itu Peraturan Pemerintah (PP) ataupun Pera­turan Menteri (Permen). "Ini harus juga segera dibenahi," jelasnya.

Ia berharap, Undang-undang Minerba yang baru sesuai den­gan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 33 tentang kedaulatan sumber daya alam (SDA). "Semua kekayaan alam harus harus bisa negara kuasai demi kemakmuran masyarakat," tuturnya.

Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Panjaitan menegaskan, bahwa revisi Undang-Undang Minerba bukan untuk menga­komodasi perusahaan tertentu. Apalagi disebut mengakomodasi Freeport dan Newmont.

Ia menjelaskan, tujuan aturan ini direvisi salah satunya agar relaksasi perpanjangan ekspor komoditas tambang mineral dan batubara dapat diperpanjang. "Ada waktu 3-5 tahun. Kita lagi lihat satu-satu tiap komoditas. Kita lagi kaji," kata Luhut.

Luhut menyebut, pihaknya akan mengakomodasi bagi pe­rusahaan yang telah melakukan pembangunan smelter. "Kita melihat misalnya ada smelter yang sudah 30 persen-40 persen itu juga kita musti akomodasi," kata Luhut.

Dia menambahkan, relak­sasi ekspor konsentrat yang akan diberikan setelah 2017 tidak akan sama dengan relak­sasi sekarang. Revisi Undang-Undang Minerba juga akan memuat sanksi bagi perusahaan yang tidak menjalankan hiliri­sasi mineral. Aturan yang lebih keras dan tegas akan dibuat supaya smelter benar-benar dibangun. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA