Hipmi: Sikat Mafia Gas Industri!

Luhut Endus Banyak Trader Hanya Jadi Calo

Rabu, 07 September 2016, 09:55 WIB
Hipmi: Sikat Mafia Gas Industri!
Foto/Net
rmol news logo Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) meminta pemerintah mengusut dugaan keterlibatan mafia gas sehingga harga gas melambung tinggi. Tingginya harga gas membuat in­dustri nasional susah bersaing.

"Kita minta pemerintah mengusut siapa di balik tingginya harga gas ini," ujar Ketua Bi­dang Energi Hipmi Andhika Anindyaguna kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Dia menduga, harga gas di Indonesia disandera oleh ma­fia gas. Walaupun, Indonesia tercatat sebagai produsen gas, herannya, harga gas di Tanah Air jauh lebih mahal dibandingkan negara-negara pengimpor gas dari Indonesia. "Pasti ini ada yang salah," ujar Andhika.

Andhika mengatakan, harga gas di sisi hulu hanya sekitar 4 per dollar AS per Million Merric British Thermal Units (MMBTU). Namun gas yang di­jual ke industri saat ini mencapai 9 dollar AS per MMBTU. Harga gas naik sampai dua kali lipat ketika sampai di industri.

"Tak hanya itu, indikasi keterlibatan mafia gas kian kuat, sebab walaupun sejak 2015 pemerintah telah berjanji akan menurunkan harga gas, namun hingga saat ini hal tersebut be­lum juga teralisasi," ujarnya.

Dia menambahkan, harga gas untuk industri di Indonesia jauh lebih lebih mahal daripada di Singapura dan negara tetangga lainnya di ASEAN. Negara-negara tetangga tersebut menjual gas 4-5 dollar AS per MMBTU, sedangkan di Indonesia lebih mahal berkisar 9 dollar AS per MMBTU-14 dollar AS per MMBTU.

Dampaknya, daya saing in­dustri melemah sebab komposisi harga gas cukup signifikan da­lam menentukan biaya produksi. Industri keramik misalnya harga gas berkontribusi hingga 25 persen atas biaya produksi, disusul industri kaca dan botol, makanan dan minuman, kertas, baja, tekstil dan bahkan industri pupuk hingga 70 persen.

Menurut dia, melambung­nya harga gas dan energi akan mengancam program industri­lisasi nasional. Sebagaimana diketahui, pertumbuhan industri 2017 ditargetkan sebesar 5,4 persen atau 0,1 persen di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Tingginya harga tersebut juga membuat minat investasi di da­lam negeri dapat melemah.

"Kita perlu menjaga minat investasi yang sudah mulai tumbuh," ujar Andhika.

Data Hipmi Research Center, menunjukan nilai investasi Pe­nanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sektor industri semester I-2016 sebesar Rp 50,70 triliun atau tumbuh 17,87 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 43,01 triliun.

Sedangkan, nilai investasi Penanaman Modal Asing (PMA) sektor industri semester I-2016 mencapai 8,01 miliar dollar AS atau tumbuh sebesar 49,11 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 5,37 miliar dollar AS.

Sebelumnya, bekas Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi, Faisal Basri, juga blak-blakan mengenai banyaknya calo alias trader yang bermain dibisnis gas. Akibatnya, industri dalam negeri harus membeli gas dengan harga mahal.

Dia menyayangkan, sudah bertahun-tahun praktik bisnis gas tidak sehat ini berlangsung tanpa penyelesaian yang meno­hok ke akar masalah. Salah satu akar masalah utama adalah bis­nis gas dijadikan bancakan oleh para pemburu rente. Saat ini ada sekitar 50 lebih trader gas.

Plt Menteri Energi dan Sum­ber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Panjaitan mengaku sudah mengendus ulah para mafia gas ini. Luhut berjanji akan segera membongkar trader-trader gas yang hanya menjadi calo ini, agar rantai distribusi menjadi pendek dan harga lebih efisien.

"Ya, itu (trader hanya menjadi calo) kita nggak mau, kita lihat satu-satu, kita bongkar semua," ujar Luhut.

Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA), Hidayat Tri Saputro mengatakan, saat ini harga gas untuk industri baja paling mahal di daerah Sumatera Utara sebesar 10,87 dollar AS per MMBTU.

"Harga gas yang dibebankan ke industri baja, yang paling tinggi di Sumut yaitu 10,87 dollar AS per MMBTU, harga tergantung lokasi. Ya jelas me­nyulitkan posisi industri baja untuk berkompetisi secara wajar dan sehat. Apalagi untuk bersa­ing dengan sesama anggota ASEAN," kata Hidayat.

Tingginya harga gas dibanding negara tetangga mempengaruhi harga baja dalam negeri menjadi lebih mahal. "Harga gas sangat berkorelasi dengan efisiensi, harga baja jadi mahal karena ongkos produksinya jadi mahal," tukasnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA