Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ekonomi Campur Sari Ala Jokowi: Perpaduan Neoliberal, Neomaling, Dan Neogoblok

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Jumat, 02 September 2016, 09:16 WIB
Ekonomi Campur Sari Ala Jokowi: Perpaduan Neoliberal, Neomaling, Dan Neogoblok
Net
rmol news logo Pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Universitas Bung Karno (UBK) Salamuddin Daeng mengritik kebijakan pengampunan pajak alias tax amnesty yang saat ini sedang dijalankan Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Melihat kebijakan sebelumnya sampai yang terakhir ini, dia menilai, Jokowi sedang menerapkan ekonomi campur sari, yaitu perpaduan neoliberal, neomaling, dan neogoblok.

Kritik bernada satire tersebut dia sampaikan lewat sebuah tulisan berantai, yang juga diterima redaksi pagi ini.

"Baginda Jokowi sedang me-restart sistem, dimulai dengan tax amnesty atau juga bisa disebut pajak atas harta  2,5 persen untuk seluruh rakyat, pukul rata. Ini jelas dimaksudkan supaya jangan ada yang sembunyikan lagi harta bedanya. Ini merupakan terobosan pajak terbaik, LSM mesti membuat tax award untuk baginda yang mulia Jokowi," tulisnya.

Oleh karena itu, menurutnya, semestinya tidak hanya perusahaan BUMN yang harus melakukan revaluasi aset. Seperti PLN yang asetnya sudah naik tahun ini dari Rp 500 triliun menjadi Rp 1.250 triliun; Pertamina Rp 1.000 triliun bayar 2,5 persen. Demikian juga Mandiri, BNI, BTN, yang asetnya ribuan triliun segera dikenakan pajak berbasis aset 2,5 persen.

Tak hanya BUMN, seluruh perusahaan swasta dan masyarakat umum semestinya juga melakukan hal yang sama.  Yayasan dan lembaga pendidikan, seperti Universitas Indonesia, Muhammadiyah, Pesantren, harus melakukan revaluasi aset dan harus bayar 2,5 persen. Sebab yang dijadikan basis pemungutan pajak adalah harta benda, bukan keuntungan ataupun produktifitas.

"Hal ini yang disebut revolusi mental sejati. Semua harta/aset/tabungan segera dipajakin tanpa pandang bulu," sentil Direktur Pusat Kajian Ekonomi Politik UBK ini.

Tak hanya itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga harus segera meminta akses terhadap tabungan dan deposito rakyat Indonesia. Sebab,  ada sekitar 67 ribu orang memiliki deposito di atas 5 miliar di bank-bank nasional. "Kalau tidak bisa jelaskan asal-usulnya langsung saja kenakan pajak," ungkapnya lagi.

Dengan kebijakan tersebut, dia menyindir Sri Mulyani jangan menghancurkan kredibilitas Pemerintahan Jokowi yang sah dari dalam dengan memotong anggaran. Karena, mengapa anggaran yang sudah baik baik dan dipuji puji Bank Dunia dipotong? DPR juga tidak perlu melakukan revisi target pajak dan pengeluaran APBN Perubahan 2016. Sebab revisi itu akan membuat kredibilitas pemerintah hancur.

"Oleh karena itu Sri Mulyani jangan potong-potong APBN, harus sesuai yang dirancang Baginda Jokowi Rp 2.100 triliun, tax amnesty Rp 165 triliun, demikian juga rencana kenaikan cukai dengan menaikkan harga rokok 50 ribu. Itu benar super berani, top markotop," sentilnya lagi.

Satu lagi, lanjutnya dalam tulisan tersebut, dua lembaga yang makan sendiri dan tidak bagi ke negara, yaitu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, harus di bawah Presiden langsung.

Dia menjelaskan OJK pegang aset semua bank dan lembaga keuangan dimakan sendiri uangnya. Sementara BI utang sendiri, spekulasi sendiri, makan sendiri. "Dua lembaga tersebut harus diambil alih keuangannya oleh pemerintah, jangan kaya sendiri," ucapnya.

Begitu pula SJSN-BPJS, lembaga asuransi pemungut uang rakyat. Uang Jamsostek Rp 140 triliun, TASPEN Rp 160 triliun, ASABRI, Askes. Semua aset  lembaga asuransi tersebut taruh di Menteri Keuangan/kas negara. Dana haji Rp 100 triliun juga dimasukkan APBN. Karena jangan dimakan sendiri oleh lembaga haji.

"Ini baru top markotop. MENTAL," sindirnya.

Pada bagian akhirnya tulisannya tersebut, dia memuat definisi neoliberal, neomaling, dan neogoblok, juga dengan nada satire.

Neoliberal: maling secara legal, pakai aturan. Misalnya maling BLBI, maling Century, maling tax amnesty, dan lain-lain.

Neomaling: mencuri namun bisa berkelit dari hukum seperti korupsi Sumber Waras, reklamasi, dan lain-lain.

Neogoblok: maling secara bodoh, misalnya korupsi mark up harga bus Transjakarta. "Maling ini maling gak mikir alias bego amat," demikian Salamuddin Daeng menutup tulisannya tersebut. [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA