Menurut Ketua DPP Persatuan Wirausaha Muda Indonesia (PWMI) AR. Sutara, tim ekonomi pemerintah belum mampu menahan laju pelemahan rupiah hingga menyentuh level terendah sepanjang 2015 yakni Rp 14.160 per dolar Amerika Serikat, menjadi rekor terburuk pasca krisis 1998.
"Imbas keterpurukan nilai tukar rupiah tersebut sudah terasa hingga ke sektor UMKM. Penelusuran PWMI, sektor wiraswasta di Purworejo, Bandung, dan Tasikmalaya sebagai basis pengrajin usaha tekstil mengalami penurunan produksi," bebernya kepada redaksi di Jakarta, Jumat malam (4/9).
Sutara menjelaskan, penurunan produksi yang dialami pengrajin tekstil karena kendala mahalnya bahan baku kampas dan kain yang masih diimpor dari India dan Pakistan. Data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), jumlah pabrik tekstil yang beroperasi di Bandung turun drastis.
"Jumlah pabrik tekstil yang beroperasi di wilayah Bandung dari sebelumnya berjumlah 48 saat ini hanya tinggal 23 pabrik saja yang masih beroperasi. Sungguh ini warning serius bagi pemerintah bahwa krisis ekonomi sudah mulai meresap sampai ke level wiraswasta," ujarnya.
Lebih lanjut, PWMI mewanti-wanti pemerintah agar tidak keliru sasaran dalam mengeluarkan paket program antisipasi krisis yang sedang digodok. Sebab, saat ini tim ekonomi pemerintah terlalu fokus antisipasi krisis pada variabel makro ekonomi politik).
"Yang dibicarakan persoalan lemahnya penyerapan anggaran hingga stabilitas politik yang menyangkut kegaduhan elit, hubungan parlemen sampai pengeluaran surat edaran anti kriminalisasi. Sementara aktifitas ekonomi sektor rill tampak lesu dengan indikator minimnya belanja modal masyarakat," jelasnya.
Selain itu, tambah Sutara, angka saving deposito masyarakat di perbankan pun semakin tinggi mencapai 30 persen. Ditambah lagi dunia wirausaha yang sudah banyak gulung tikar.
"Penanganan segera dari pemerintah terhadap pelaku usaha mikro bisa berupa insentif kredit permodalan atau jaminan ketersediaan bahan baku produksi yang terjangkau. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi masyarakat menengah ke bawah akan terus terjaga," ungkapnya.
Dewan Pembina PWMI Rodli Kaelani menambahkan bahwa kekhawatiran salah langkah pemerintah dalam mengeluarkan paket kebijakan penyelamatan krisis cukup beralasan. Berdasarkan kajian historis saat krisis moneter 1997-1998 lalu, di mana hampir semua negara Asean terkena krisis dengan indikator harga dolar melambung.
"Thailand, Singapura, dan Malaysia justru lebih cepat recovery, sementara Indonesia cukup lambat. Salah satu faktornya karena pemerintah salah sasaran dalam memberi insentif dunia usaha lewat kebijakan biaya krisis, valas dan dana talangan BLBI total Rp 600 triliun. Karena tidak tepat sasaran, dana tersebut banyak yang diselewengkan," ucap Rodli.
[wah]
BERITA TERKAIT: