Kebijakan ini sebenarnya sudah dilakukan pada tahun 1970-an. Karena tak mampu mendorong pertumbuhan investasi yang signifikan, kebijakan ini akhirnya dicabut tahun 1984. Bukannya meningkatkan investasi, kebijakan ini dinilai justru berpotensi dimanfaatkan perusahaan Multi National Company (MNC) dari luar negeri yang mendirikan perusahaan baru untuk menghindari pajak.
Bukan hanya itu,
tax holiday juga dikhawatirkan akan memicu perang diskon pajak dengan negara tetangga, terutama menjelang Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akhir tahun ini. Untuk mengantisipasi masalah ini, Setyo Budiantoro, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa menyatakan, diperlukan pertemuan Kepala Negara dan Menteri Keuangan negara ASEAN untuk berkoordinasi dan membuat kesepakatan tidak akan menggunakan instrumen pajak secara eksesif di era MEA, karena perang pajak akan merugikan dan mengorbankan semua anggota ASEAN.
"Indonesia tanpa
tax holiday sebenarnya sudah menarik bagi investor. Yang perlu dibenahi bukan hanya infrastruktur dan energi, tapi juga reformasi birokrasi dengan target dan supervisi ketat. Ruwetnya birokrasi dan banyaknya pungutan liar membuat iklim investasi tetap buruk," ungkap Setyo dalam diskusi di Cikini, Jakarta (Senin, 24/8).
"Pemerintah tak perlu silau dengan FDI, potensi investasi dalam negeri juga cukup besar asal ada dukungan," lanjutnya.
Menurutnya, untuk itu pemerintah harus menyiapkan dana 2 persen dari PDB untuk riset, guna mendukung usaha, inovasi, produksi, dan ilmu pengetahuan. Agar potensi Indonesia bisa dikembangkan sendiri, yang sesuai dengan semangat Jokowi yang ingin menjadikan Indonesia bangsa produktif, bukan hanya konsumtif.
[sam]
BERITA TERKAIT: