Hal ini sangat berbeda dengan Jepang yang menyatakan terjadi krisis energi di negaranya apabila ketersediaan energinya kurang dari 6 bulan.
Outlook Energi Indonesia 2014 dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menunjukkan bahwa dalam sekitar 15 tahun lagi jumlah permintaan energi melebihi kemampuan penyediaan secara mandiri yang kemudian lebih tergantung pada pasokan energi impor yang tentu mengancam kemandirian energi nasional.
Terkait ketersediaan listrik, saat ini masih ada masalah ketersedian listrik yang ditandai dengan adanya beberapa daerah yang mengalami krisis listrik. Ini disebabkan kemampuan penyediaan listrik belum secara merata keseluruh Indonesia.
Berdasarkan data yang diterima dari BPPT, sampai bulan September 2014, kapasitas terpasang pembangkit PLN dan IPP di Indonesia adalah 43.457 MW yang terdiri dari 33.499 MW di sistem Bali-Jawa dan 9.958 MW di sistem-sitem kelistrikan wilayah Sumatera dan Indonesia bagian timur. Rata-rata kenaikan pembangkit tenaga listrik di Indonesia sebesar 7,3 persen.
Menurut Andika yang mewakili Bidang Energi BPPT, selama ini pembangkit listrik sangat tergantung pada bahan bakar minyak, kemudian mulai tergantung pada bahan bakar gas, dan masih belum banyak menggunakan bahan bakar batu bara.
Proyeksi kebutuhan listrik Indonesia hingga 2024 diperkirakan mencapai 464 TWh atau tumbuh rata-rata dari tahun 2015 sampai 2024 sebesar 8,7 persen.
Ia menambahkan, untuk memenuhi kebutuhan listrik yang cukup tinggi, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pembangunan pembangkit listrik sebesar 35.000 MW dengan menggunakan energi terbarukan seperti batubara dan gas.
Berdasarkan estimasi yang tertuang dalam outlook energi nasional, dengan konsumsi bahan bakar gas saat ini diperkirakan pada tahun 2019 dengan konsumsi sebesar 2.098 BCF dan produksi gas dalam negeri sebanyak 2.680 BCF, maka Indonesia hanya mampu mengekspor sebanyak 669
BCF serta mulai mengimpor 87 BCF. Ini berarti beberapa tahun kedepan Indonesia menjadi net importir gas.
Oleh karena itu, menurutnya saat ini pemerintah memfokuskan pembangkit listrik 35 ribu MW berbahan bakar batubara. Saat ini produksi batubara sekitar 400 juta ton per tahun, hanya sekitar 23 persen digunakan untuk konsumsi dalam negeri dan sebanyak 77 persen di ekspor.
Meski demikian, walau cadangan batubara mencukupi, batubara yang tersedia berkualitas rendah, sehingga perlu diaplikasikan suatu teknologi untuk meningkatkan kualitasnya.
"BPPT mempersiapkan teknologi riset dan kajian untuk meningkatkan kualitas batubara dengan cara Coal Upgrading (di uapkan sehingga kadar airnya berkurang) dan Coal Blending (di campur dengan batubara kualitas bagus). Bila kita menggunakan batubara secara optimal maka kita tidak akan masuk kedalam kategori krisis energi," tandas Andika di acara Media Gathering TIEM BPPT di Gedung BPPT Jakarta, Rabu (29/7).
[dem]
BERITA TERKAIT: