Penilaian itu datang dari anggota Komisi XI DPR yang membidangi keuangan, M.Misbakhun. Menurutnya, opini WDP dari BPK atas LKPP selama dua tahun berturut-turut jelas menujukkan adanya perbaikan mendasar tata kelola keuangan di pemerintahan.
"Opni WDP yang dicapai pemerintah saat ini merupakan opini yang mempunyai upaya-upaya perbaikan yang mendasar dan prinsipil," kata Misbakhun, Jumat (5/6).
Lebih lanjut, Misbakhun mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro melalui kerja sama dengan BPK untuk melakukan langkah-langkah konstrukstif demi meraih WTP pada masa-masa mendatang. Misbakhun menegaskan, upaya Menkeu itu harus didukung semua pihak agar perbaikan mendasar yang sedang disusun bersama dengan BPK bisa berjalan dengan baik pada proses audit selanjutnya.
Salah satu langkah yang dipuji Misbakhun adalah upaya mitigasi risiko yang disusun Kemenkeu atas dasar kesepakatan dengan BPK. Hal itu demi menindaklanjuti temuan-temuan yang ada dalam proses audit demi perbaikan. Menurutnya, hal itu tentu bukan semata-mata demi predikat WTP tapi juga juga bentuk komitmen keterbukaan Pemerintah, melalui Kemenkeu untuk mendapat supervisi dari BPK.
"Saya memuji langkah-langkah dan upaya perbaikan dan kerja sama konstruktif yang dilakukan oleh Menteri Keuangan dengan BPK. Upaya membangun komunikasi yang dilakukan oleh Menkeu kepada BPK untuk mendapatkan supervisi adalah hal positif yang perlu diapresiasi," ucapnya.
Karenanya, Politikus muda Golkar itu meyakini opini BPK atas LKPP akan meningkat dari WDP menjadi wajar tanpa pengecualian (WTP) pada tahun depan.
"Harapannya LKPP tahun 2015 bisa memperoleh predikat opini WTP," katanya.
Sebelumnya, BPK RI menyatakan ada empat permasalahan terkait tata kelola keuangan pemerintah yang ditemukan BPK dalam proses auditnya atas LKPP 2014. Hal itu mempengaruhi BPK RI dalam memberikan hanya predikat WDP kepada LKPP 2014.
Yakni adanya pencatatan mutasi Aset Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) senilai Rp2,78 triliun yang tidak dijelaskan oleh pemerintah. Hal itu terjadi karena pencatatan dan pelaporan Aset KKKS belum didukung oleh sistem pengendalian yang memadai serta dapat menjamin keakuratan dan kelengkapan transaksi.
Kedua, permasalahan utang kepada pihak ketiga di tiga kementerian/ lembaga sebesar Rp1,21 triliun yang tidak dapat ditelusuri dan tidak didukung oleh dokumen yang memadai.
Keiga kementerian lembaga itu adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan nilai sebesar Rp 1,12 triliun, Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia sebesar Rp 59,12 miliar, dan BP Batam sebesar Rp 23,33 miliar.
Ketiga, masih ada permasalahan pada transaksi dan atau saldo yang membentuk Sisa Anggaran Lebih (SAL) senilai Rp 5,14 triliun, Sehingga penyajian catatan dan fisik SAL tersebut tidak akurat.
Keempat, Pemerintah belum memiliki mekanisme pengelolaan dan pelaporan tuntutan hukum. Akibatnya, belum jelas unit kerja yang bertanggung jawab untuk melakukan administrasi dan validasi atas tuntutan hukum yang telah inkracht untuk dicatat atau diungkap sebagai kewajiban.
BPK RI pun menyarankan agar keempat permasalahan itu menjadi perhatian pemerintah untuk mengambil langkah-langkah perbaikan. Sehingga ke depan, permasalahan yang mempengaruhi kewajaran laporan keuangan semakin berkurang dan tidak menjadi temuan berulang
.[wid]
BERITA TERKAIT: