Demikian dikatakan pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy dalam dialektika demokrasi ‘Terpuruknya Rupiah terhadap Dollar AS dan dampaknya terhadap perekonomian nasional’ bersama Wakil Ketua Fraksi Nasdem, Johnny G Plate dan anggota FPG DPR RI Mahyuddin di Gedung Nusantara III Senayan, Jakarta, Kamis (19/3).
Menurut Noorsy, potensi kerusuhan sekarang ini sudah terpusat, tidak menyebar atau terkanaliasi pada institusi-institusi tertentu. Sebagai contoh, kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri, kini sudah digeser kepada Kajagung RI. Padahal sebelumnya sudah mulai menyebar ke kampus-kampus dan masyarakat yang mendukung KPK.
"Juga konflik parpol, yang semula terjadi antar pendukung, kini terpusat kepada Menkumham Yasonna Laoly. Jadi, potensi rusuh itu sulit meski tetap terbuka kemungkinan," tegasnya.
Sedangkan untuk level dunia, masih kata Ichsanuddin, konflik sudah dikanalisasi oleh Amerika Serikat kepada Islamic State of Irak and Suriah (ISIS). Sebab itulah harus hati-hati berbicara ISIS jika tak mau terjebak politisasi Barat.
Meski diakuinya potensi kerusuhan tetap ada pada 2015. Persoalannya sekarang terjadi perang dagang industri dan keuangan-moneter dunia antara Amerika Serikat yang dibantu Eropean Central Bank (ECB), dan All England menghadapi kekuatan China, Rusia, India, serta lainnya.
"Sedangkan Indonesia sebagai tempat yang bagus, empuk untuk menjadi permainan Amerika itu," ujarnya.
Terbukti, pemerintah gagal menstabilkan harga, termasuk nilai rupiah dan kebutuhan orang banyak. Ditambah lagi gagal menguasai sumber daya manusia, produksi, dan juga distribusi. Dengan kata lain, lanjut Noorsy, Amerika dan Eropa berhasil memaksa Indonesia agar tetap melakukan ekspor bahan mentah.
"Mengapa itu terjadi terulang-ulang? Karena sebelumnya SBY sukses menanamkan liberalisasi pasar, maka sulit keluar dari masalah ini jika tidak merubah undang-undang nomor 24 tahun 1999 dan undang-undang nomor 25 tahun 2007," tegasnya.
Noorsy mengingatkan, utang luar negeri Indonesia saat ini mencapai 292 miliar dolar AS yang terdiri dari swasta sebesar 162 miliar dolar AS dan pemerintah sebesar 130 miliar dolar AS. Sementara devisi yang ada 111 miliar dolar AS, itu juga masih dipertanyakan kepemilikannya.
"Itulah yang mudah dimainkan sehingga
risk analisisnya terpuruknya ekonomi AS berisiko pada seluruh sektor perekonomian Indonesia dan enam paket kebijakan ekonomi Jokowi tidak berpengaruh apa-apa,†kata Ichsanuddin.
[wid]
BERITA TERKAIT: