"Kongruensi ini direfleksikan dari kesepakatan dalam memberi ruang gerak kelompok G-33 (33 negara berkembang) khususnya di sektor pertanian dan ketahanan pangan," ungkap Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Firmanzah, dikutip dari situs resmi Sekretaris Kabinet.
Firmanzah menyebutkan, Paket Bali dengan tiga agenda yang disepakati ini tentu dipandang lebih realistis dibanding 19 agenda dalam Putaran Doha di Qatar tahun 2001.
Kesepakatan pada pengurangan hambatan perdagangan yang menekankan prinsip "non-diskriminasi" untuk mendorong sistem perdagangan dunia yang berkeadilan dan proporsional, lanjut Firmanzah, sangat memberi ruang yang besar bagi negara-negara berkembang dan kurang berkembang ntuk memperluas pasar dan mendorong ekspornya ke negara-negara maju.
Dalam sektor pertanian, Paket Bali memberi keleluasaan bagi negara-negara berkembang dengan populasi besar seperti Indonesia dan India untuk memberikan subsidi kepada petaninya dan menjamin ketersediaan pangan bagi kelompok miskin.
Diyakini Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia ini, kesepakatan Paket Bali akan menstimulus permintaan global serta mendorong peningkatan volume perdagangan global guna memacu pertumbuhan global. Nilai perdagangan paska kesepakatan Bali diperkirakan akan mencapai US$ 1 triliun atau Rp 12.000 triliun dengan potensi perluasan kesempatan kerja mencapai 20 juta orang yang sebagian besar diperkirakan akan banyak dinikmati oleh negara berkembang termasuk Indonesia.
"Dengan tercapainya kesepakatan pada pertemuan WTO ke-9 di Bali, sinyal perbaikan kesimbangan perdagangan global di masa mendatang akan semakin menguat. Di samping itu, Paket Bali yang disepakati juga menjadi pesan semakin menguatnya posisi tawar Indonesia sebagai tuan rumah KTT tingkat Menteri kali ini," pungkas Firmanzah.
[ald]
BERITA TERKAIT: