Firmanzah tidak sepakat dengan pendapat yang menyebut Paket Bali merugikan negara-negara berkembang dan sedang berkembang. Firmanzah mengingatkan salah satu agenda dari Paket Bali yang dihasilkan dari KTM ke-9 WTO itu adalah fasilitas perdagangan-pertanian-pembangunan negara kurang berkembang.
Agenda itu, kata mantan Dekan termuda di Universitas Indonesia ini, memberikan kesempatan bagi negara-negara berkembang dan kurang berkembang memperoleh manfaat yang besar dengan hasil negosiasi trade facility yang baru pertama kali dilakukan sepanjang perjalanan WTO.
"Dengan kesepakatan ini, negara-negara berkembang dan kurang berkembang memiliki kesempatan yang besar untuk memperluas akses bebas barang dan jasa sehingga dapat mendorong kapasitas perdagangan masing-masing," ungkap profesor bidang ekonomi ini, seperti diteruskan situs resmi sekretaris kabinet, Senin pagi (9/12).
Dia tegaskan, disepakatinya Bali Package memuat tiga agenda yakni trade facility, subsidi sektor pertanian, dan berpihak terhadap negara-negara yang paling kurang berkembang (Least Developed Countries/LDCs). Hal ini menjadi momentum bersejarah dalam perjalanan WTO sejak didirikan tahun 1995.
Selama ini, lanjut Firmanzah, sejumlah perundingan WTO yang dilakukan gagal menghasilkan kesepakatan karena adanya benturan kepentingan antara negara-negara anggotanya. Karena itu, ia menilai, kesepakatan pada pertemuan WTO Bali kali ini menjadi babak baru sejarah perdagangan dunia khususnya ketika perdagangan global dalam beberapa tahun ini relatif tertekan.
[ald]
BERITA TERKAIT: