Hal tersebut pernah disampaikan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang kemudian menjadi tolok ukur seorang polisi jujur yang merakyat.
Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI) Rasminto angkat bicara terkait RUU Polri yang belum menyentuh penguatan aspek substansi profesionalisme Polri.
Hal tersebut disampaikan dalam diskusi publik BEM Universitas Negeri Jakarta (UNJ) bertajuk RUU Polri: Optimalisasi fungsi atau ancaman demokrasi di Kampus UNJ, Rawamangun, Jakarta, Senin (1/7).
"Banyaknya kasus yang menjadi sorotan publik dan belum terlihat perbaikan kultur dan profesionalisme di institusi Polri jadi PR besar dalam substansi RUU Polri," kata Rasminto dalam keterangannya yang diterima redaksi, Selasa (2/7).
Dia berharap, pembahasan RUU Polri terlebih pada 1 Juli ini berulang tahun jadi momentum memperkuat profesionalismenya.
"Kita berharap muatan RUU Polri dapat memuat substansi memperkuat profesionalismenya, terlebih hari ini Polri sudah berusia matang ke 78, semoga momentum HUT Polri dan pembahasan RUU ini dapat melahirkan Hoegeng-Hoegeng lainnya," ungkapnya.
Baginya RUU Polri gagal menyorot masalah fundamental yang terjadi di institusi kepolisian selama ini.
"Tidak terkecuali kegagalan dalam menyorot aspek lemahnya mekanisme pengawasan dan kontrol publik terhadap kewenangan kepolisian yang begitu besar (
oversight mechanism) dalam ikhwal penegakan hukum, keamanan negara maupun pelayanan masyarakat," tegasnya.
Dia menuturkan, tantangan profesionalisme Polri diuji pada berbagai kasus yang viral saat ini.
"Kita dihadapkan pada tantangan profesionalisme Polri ada
adegium "no viral, no justice", contoh kasus pembunuhan Vina Cirebon menjadi viral karena jadi film layar lebar setelah 8 tahun," tuturnya.
Di sisi lain, berdasarkan rancangan (
draft) yang diterima, RUU Polri pada prinsipnya memuat sejumlah pasal bermasalah.
"Dengan substansi perluasan bersifat
excessive terhadap kewenangan kepolisian hingga menjadikannya institusi berpotensi
superbody," jelasnya.
BERITA TERKAIT: