Milestone berikutnya adalah kehadiran Perdana Menteri Timor Leste Jose Maria de Vasconcelhos dalam KTT ASEAN di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia, bulan Mei 2023. “Ini adalah bab baru bagi sejarah bangsa Timor Leste,” ujarnya yang lebih dikenal dengan nama gerilya Taur Matan Ruak.
Perjalanan Timor Leste menuju keanggotaan ASEAN merupakan salah satu hal yang kami, saya dan Duta Besar Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) Filomeno Aleixo da Cruz, bicarakan di Kedubes Timor Leste di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Dubes Filomeno menjelaskan bahwa bergabung dengan ASEAN merupakan salah satu hal yang diinginkan
founding fathers Timor Leste sejak masa kolonial Portugis.
“ASEAN bisa menjadi pusat dunia di masa mendatang,” kata Dubes Filomeno.
Dubes Filomeno mulai bertugas di Jakarta pada bulan Oktober 2021. Sebelumnya pada tahun 2016 sampai 2019 ia ditugaskan sebagai duta besar Timor Leste di Tokyo, Jepang. Dia juga pernah menjadi Wakil Menteri Administrasi Negara pada Pemerintahan Konstitusional II dan III RDTL.
Lahir di Dili, 11 Februari 1958, Dubes Filomeno memiliki hubungan yang sangat dekat dengan tokoh Fretilin dan mantan Perdana Menteri Mari Alkatiri. Ia juga merupakan salah seorang figur kunci di partai itu.
Ketika saya mewawancarai Mari Alkatiri pada bulan Juli 2008 di Jakarta, Dubes Filomeno lah yang bertugas menjadi penterjemah.
Pengalamannya saat Timor Leste masih merupakan provinsi ke-27 Indonesia, juga cukup beragam. Antara tahun 1988 sampai 1998, Dubes Filomeno bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Kantor Gubernur Provinsi Timor Timur. Diawali sebagai staf Biro Kepegawaian, staf Biro Pemerintahan, sampai Kepala Sub-bag Perkotaan Bappeda.
Alumni Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Katolik Ledalero, Maumere, NTT, ini juga pernah bekerja sebagai guru di berbagai sekolah untuk beragam mata pelajaran, dari teologi, kimia, fisika, musik, dan olahraga.
***
Quarternary Science Reviews Volume 171 yang terbit di awal September 2017 mempublikasikan hasil penelitian tim arkeolog yang digawangi Stuart Hawkins dan Sue O’Connor dari Australian National University (ANU) di sebuah gua batu di Distrik Manatuto, Timor Leste. Mereka menyimpulkan bahwa Gua Laili telah dihuni manusia modern setidaknya pada 44.600 tahun lalu. Sejauh ini ia adalah hunian manusia modern tertua kedua di Wallacea yang ditemukan setelah Madjedbebe yang berada di utara Australia.
Walaupun pengukuran usia karbon menunjukkan Madjedbebe lebih tua 400 tahun dari Gua Laili, namun menurut para peneliti ada beberapa artefak di Laili yang rasanya berusia lebih tua dari artefak yang ditemukan di Madjedbebe. Karena itu, tim peneliti meyakini teori yang mengatakan bahwa migrasi manusia modern dari daratan Asia menempuh jalur selatan, Pulau Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil, sebelum akhirnya tiba di benua Australia.
Jadi tidak usah heran bila masyarakat kedua negara, Indonesia dan Timor Leste, memiliki hubungan kekerabatan yang erat. Istilah yang digunakan Dubes Filomeno: sudah dari sononya.
Hubungan kekerabatan itu diinterupsi kolonialisme Portugis yang tiba di Pulau Timor pada 1515 dan secara resmi menjadikan Timor sebagai koloni pada 1556, serta Belanda yang tiba di Timor pada 1613 dalam upaya merebut sumber daya alam di Kepulauan Sunda Kecil yang dikuasai Portugis. Dalam Perjanjian Lisboa, 20 April 1859, Portugis dan Belanda sepakat membagi Pulau Timor dengan batas-batas yang sekarang secara umum menjadi batas Indonesia dan Timor Leste.
“Kekerabatan kedua bangsa ini begitu unik dan tidak bisa dibanding-bandingkan,” ujar Filomeno lagi.
Berikut petikan perbincangan itu:
Sebelum kita membicarakan beberapa current issues, bisa Anda jelaskan pengalaman Anda ketika Timor Leste masih menjadi bagian dari Indonesia?Tahun 1975 saya sekolah di seminari. Waktu terjadi pergolakan di antara bangsa Timor Leste, antara UDT (União Democrática Timorense), Apodeti (Associação Popular Democrática Timorense) dan teman-temannya berhadapan dengan Fretelin (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente) yang kemudian tampil untuk menyikapi situasi pancaroba pada waktu itu, sampai Indonesia masuk ke Timor Leste secara resmi pada 7 Desember 1975, saya sekolah di seminari.
Tahun 1980an saya berangkat ke Flores untuk melanjutkan pendidikan imam Katolik di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Katolik Ledalero, Maumere. Saya juga pernah mengajar di Sekolah Dasar Katolik Dare. Bukan hanya mengajar teologi, saya juga mengajar kimia, fisika, matematika, juga musik dan olahraga.
Sejak muda saya merasa terpanggil untuk mengabdi dan membela yang lemah dan terpinggirkan. Keinginan itu kemudian terwujud dengan cara lain. Saya tidak menjadi imam katolik, tapi masih menjadid manusia yang bisa berguna juga dalam keterbatasan saya.
Setelah aku keluar dari perjalanan menjadi imam Katolik, tahun 1988 saya ditawari Gubernur pada waktu itu, Mario Viegas Carrascalao, untuk menjadi pegawai negeri di Kantor Gubernur. Awalnya saya bekerja di bagian pengembangan kepegawaian. Lalu dipindahkan ke biro pemerintahan umum. Sampai 1998, sampai jajak pendapat ditawarkan kepada bangsa Timor Leste pada waktu itu.
Sekitar tahun 2004 dan 2005 saya dipanggil Menteri Luar Negeri Ramos Horta dan ditawari bertugas sebagai Dubes di Tokyo. Tapi Perdana Menteri Mari Alkatiri dan Presiden Xanana Gusmao waktu itu mengatakan kepada saya, Anda kami butuhkan di sini (Timor Leste) dulu. Bukan di luar.
Saya belajar banyak dari Pak Mari Alkatiri bagaimana menyikapi situasi yang serba baru dan serba rumit, bagaimana membangun suatu negara.
Bagaimana Anda menggambarkan masa-masa menjelang dan pasca jajak pendapat, apakah sangat mencekam? Saya sedikit kutip apa yang disampaikan Pak Luhut Pandjaitan kepada Pak Xanana dalam wawancara di
Kompas TV (usai menghadiri pelantikan Xanana sebagai Perdana Menteri), “Kita mengagumi orang yang berjuang untuk merdeka.”
Suasana mencekam atau tidak yang jelas ada semangat yang membuat orang ingin berjuang untuk merdeka. Itu membuat orang merasa tertarik, ada passion untuk melakukan sesuatu secara positif. Kadang-kadang dipojokkan dengan situasi mencekam, kekerasan.
Setelah terlibat dalam urusan politik, saya mendampingi Pak Mari Alkatiri dalam kunjungan pertama ke Jakarta tahun 2004, bertemu Ibu Megawati Soekarnoputri yang ketika itu juga menjabat sebagai Presiden. Saya belajar dari Pak Mari. Dia mengatakan, “
We are victims of Cold War. We have to look forward, mengambil hikmah dan berjalan terus.”
Apakah proses rekonsiliasi antara Indonesia dan Timor Leste masih menyisakan pekerjaan yang harus diselesaikan?Rekonsiliasi itu sebuah proses yang harus berjalan terus, harus terus ditangani agar dapat menopang hubungan yang sangat baik antara kedua bangsa. Kekerabatan kedua bangsa ini begitu unik dan tidak bisa dibanding-bandingkan.
Sejak saya ditugaskan ke Tokyo, saya selalu mengatakan kedekatan Indonesia dan Timor Leste itu unik. Tidak dapat dibandingkan dengan kedekatan antara Timor Leste dan Australia, atau antara Timor Leste dan Potugal, dan lain sebagainya.
Hubungan Timor Leste dan Indonesia unik, dan harus ditangani secara unik. Di dalam keunikan itu memang ada suatu kesatuan.
Singularity itu penting.
Apakah masih ada yang belum diselesaikan dari dokumen rekonsiliasi?Setahu saya dua Kementerian Luar Negeri yang oversight proses implementasinya. Itu perlu ditinjau kembali dan kedua negara harus terus berkomunikasi.
Tapi menurut saya, rekonsiliasi internal itu penting. Khususnya kami di Timor Leste. Saya belajar bahwa rekonsiliasi itu berangkat dari konsep sakramen pengampunan gereja Katolik. Harus mulai dari diri sendiri. Itu akan lebih memudahkan semuanya.
Apakah masih ada isu kewarganegaraan?Ada yang kawin silang. Ini sesuatu yang postif dan harus dimanfaatkan untuk menjaga
people to people connection. Sudah dari dari sononya ada hubungan kekerabatan keluarga sebelah menyebelah. Dari Timor Leste ada yang punya kebun di sebelah, di wilayah Indonesia. Dari wilayah Indonesia juga ada yang punya kebon di wilayah Timor Leste. Itu sudah terjadi jauh-jauh hari, bahkan sudah ada sebelum jaman Portugis.
Dari Kedubes Indonesia di Dili disebutkan masih ada undocumented citizen. Di sini juga ada orang Timor Leste yang datang sekolah atau berkeluarga, kadang-kadang dokumennya dari sana mati, jadi disimpan dulu. Kedua negara harus saling membantu untuk menyelesaikan masalah-masalah seperti ini.
Bagaimana dengan sengketa perbatasan, apakah masih ada?Indonesia dan Timor Leste bersepakat bahwa dua segmen di Okusi diselesaikan segera. Menurut hemat saya, itu bukan masalah yang besar, dan pasti bisa diselesaikan karena dua bangsas ini, Indonesia dan Timor Leste, punya kemampuan yang khas untuk overcome.
Bagaimana hubungan ekonomi kedua negara? Apa yang didapatkan Indonesia dan sebaliknya?Sembako kebanyakan kami beli dari sini (Indonesia), termasuk building materal atau barang-banrang bangunan. Itu sesuatu yang bagus. Dan tidak bisa lain negara yang begitu dekat, saling bersebelah, saling
connected. Konetifitas ini sangat kuat. Ada Telkomsel Indonesia di Timor Leste, ada Bank Mandiri, ada Bank BRI. Perusahaan-perusahaan BUMN Indonesia banyak yang menang tender untuk membangun infrastruktur di Timor Leste. Kalau tidak salah revitalisasi airport di Dili juga dikerjakan pihak Indonesia.
Secara umum investor di Timor Leste dari mana?Dari Australia, tapi harus cross check lagi. Ada juga dari Amerika Serikat. China juga masuk. Semua negara punya andil di sana (Timor Leste). Indonesia diharapkan lebih banyak berperan. Tapi itu sudah semakin jelas dengan kemauan kedua pihak untuk menggalakkan kerjasama ekonomi di perbatasan di mulai dari daerah kantong Okusi.
Bagaimana dengan rencana special zone ekonomi?Diharapkan pada masa pemerintahan baru yang sekarang Timor Leste dan Indonesia bisa menindaklanjutinya dengan membentuk sebuah working group. Itu yang juga diharaopkan pihak Indonesia, dari Pak Jokowi sendiri, untuk membuat investment treaty.
Sekarang saya ingin bertanya mengenai perjalanan Timor Leste menjadi anggota ASEAN. Sikap Indonesia sangat positif dan ingin agar Timor Leste segera dikukuhkan sebagai anggota penuh. Masih ada kendala apa?Sebelum menjadi anggota, dengan status
observer, Timor Leste telah mengikuti hampir semua pertemuan ASEAN di setiap level, dari CPR (Committee of Permanent Reepresentatives) sampai Working Group. Setelah keputusan Timor Leste menjadi observer diadopsi sejak awal Februari tahun ini diberikan
road map, guideline, kepada Timor Leste untuk membenahi diri agar menjadi anggota penuh. Ini menurut saya tergantung juga dari Timor Leste.
Hal-hal apa yang belum terpenuhi, misalnya?
Road map itu cukup menantang juga. Nanti saya akan bagikan kepada Anda. Karena dokumennya secara resmi harus keluar dari ASEAN. Enam bulan dari KTT di Labuan Bajo ada
assesment, monitoring dan evaluasi, dialog antara Timor Leste dan ASEAN.
Kalau kita pantau media akhir-akhir ini, Presiden Jokowi maunya segera. Kalau bisa selagi Indonesia menjadi Ketua ASEAN. Saya kutip yang ada dalam pemberitaan media yang mewawancarai Presiden Ramos Horta dan Perdana Menteri Xanana Gusmao yang intinya, dibutuhkan suatu pendalaman dan studi yang cukup baik bagaimana kami menyiapkan hal itu. Selaku Dubes bersama diplomat yang ada kami menegikuti semua pertemuan yang ada.
Di jaman seperti sekarang, saat dunia berada pada situasi multipolar, apa masih penting menjadi angota ASEAN?Ini pertanyaan yang menantang sekali. Sejak founding fathers kami punya mimpi Timor Leste merdeka di jaman Portugis, sudah disebutkan bahwa kami harus menjadi bagian dari ASEAN. Tidak bisa tidak. Karena ini kawasan yang sangat dinamis.
Saya kutip pernyataan Perdana Menteri Jose Maria de Vasconcelhos di KTT ASEAN di Labuan Bajo. Katanya, ASEAN sangat kompleks. Tetapi, sedikit bermain dengan kata-kata, kompleksitas itu adalah suatu yang ikut menopang. Karena itu harus selalu dijaga. Dengan itu saya hendak mengatakan ASEAN akan tetap ada sekalipun dunia multipolar. Kawasan ini sangat diincar. Rumah yang sangat menarik untuk tamu-tamu yang ingin datang. Rumah ini harus menjaga dirinya. Tetapi tidak bisa menutup pintu dan jendela untuk tamu-tamu. Bagaimana agar itu bisa?
ASEAN way harus berfungsi.
Multipolar itu ada positifnya. Kawasan ini punya masa depan, ASEAN dapat menjadi pusat dunia di masa mendatang.
Kalau menurut Anda persaingan antara dua superpower Amerika Serikat dan Republik Rakyat China ujungnya akan ke mana?ASEAN seperti juga Timor Leste tidak mempunyai hubungan khusus dengan negara tertentu. Seperti Non Alignment Movement. Dari yang saya pahami, ASEAN ingin berbaikan dengan semua pihak dan tidak punya eksklusivitas dan seharusnya demikian agar perseteruan itu tidak terjadi di sini. Kalau bisa beliau-beliau itu menghindari perseteruan.
ASEAN sering disebut sebagai a bucket of miracles. Isinya bermacam-macam. Kita lihat apa yang terjadi di Laut China Selatan, misalnya. Ada anggapan bahwa kehadiran China saat ini di LCS jadi lebih mudah karena negara-negara di ASEAN terutama yang claimant tidak bisa menyelesaikan masalah dan terjadi kekosongan legitimasi. Mekanisme di ASEAN tentu kekeluargaan, tapi terkadang mengambil waktu terlalu lama. Sementara dalam setting politik global yang anarki, setiap negara bisa bertindak agresif. China rasanya memanfaatkan diktum itu untuk mengklaim apa yang mereka sebut sebagai perairan tradisional. Bagaimana menurut Anda?Tapi China kan
dialogue partner ASEAN. Amerika Serikat juga demikian. Saya harapkan di situ bisa ditemukan pendekatan-pendekatan untuk menyikapi situasi yang rumit ini. Kuncinya adalah kemauan semua pihak.
Tapi apakah suara ASEAN didengarkan?Saya yakin suara itu bisa terdengar. Optimisme itu harus selalu ada.
Untuk AUKUS, misalnya, sikap Indonesia hati-hati dan tidak mau wilayah ini jadi medan pertempuran. Bagaimana sikap Timor Leste?Tidak beda jauh dari Indonesia. Kami ingin berbaikan dengan semua. Diharapkan dialog untuk mencapai pemahaman itu penting untuk diperjuangkan selalu. Sudah cukuplah mengadu kekuatan fisik.
Benar. Ini sudah tahun 2023, kalau pakai cara dari Abad Pertengahan jadi lucu…Iya, lucu. Sepertinya kita mundur jauh ke belakang.
Hal terakhir, saya ucapkan selamat untuk pemerintahan baru di Timor Leste. Apa hal-hal yang akan digarisbawahi, termasuk soal hubungan Indonesia dan Timor Leste?Hubungan Indionesia dan Timor Leste pasti akan baik karena masyarakat kedua negara punya keakraban yang sangat erat. Untuk ASEAN, Timor Leste menyadari ini sangat penting. Perlu menyikapi proses menjadi anggota dengan perhatian maksimal, membenahi diri dan menyiapkan diri agar menjadi anggtoa penuh. Bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan tapi juga untuk memberikan kontribusi. Itulah hidup, kita harus berbagi.
BERITA TERKAIT: