Lantas pertanyaannya, bagaimana sosok pemimpin yang ideal?
Pemimpin yang ideal secara umum memiliki standarisasi yang secara universal disepakati oleh semua orang, hanya saja kadangkala realisasi karakteristik ideal bersifat relatif.
Contohnya pemimpin yang ideal adalah yang jujur dan tepat janji, bisa jadi seorang pemimpin merealisasikannya melalui program kerja ataupun mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari nya.
Umumnya orang akan sepakat jika ada pemimpin yang dermawan, jujur, amanah, cerdas dan tidak gegabah, gemar mendengar kritik adalah pemimpin yang ideal. Namun apakah cukup seorang pemimpin sekadar ‘baik’ dan tidak merugikan orang lain? Sayangnya sangat tidak cukup. Mengapa?
Pemimpin berarti berkuasa, sementara kecenderungan orang yang merasa dirinya berkuasa secara psikologis akan mengubah perilakunya. Mudahnya, ketika seseorang merasa dirinya berkuasa, maka ia memiliki kecenderungan untuk melakukan hal yang sewenang-wenang dan semaunya.
Mengapa? Karena dirinya merasa tidak diawasi, dirinya merasa bahwa tidak ada yang pantas menghukum dan mengontrol dirinya. Namun bukankah dalam sebuah instansi lembaga misalnya atau bahkan pemerintahan negara tentu memiliki peraturan?
Jawabannya tentu saja peraturan itu ada, tapi apakah efektif untuk mencegah seseorang yang berkuasa melakukan tindakan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan)? Jawabannya tidak cukup, terlebih mereka pula yang terlibat dalam membuat peraturan dan keputusan.
Begitulah siklusnya, seseorang yang menjabat di jabatan tertentu justru membuat dirinya lebih luwes bermain-main di wilayahnya. Contoh seorang yang bekerja di kementrian agama lebih bisa korupsi dana haji ketimbang pejabat yang lain.
Begitupun yang terjadi beberapa tahun yang lalu kasus korupsi bansos yang merugikan negara hingga ratusan miliar tak jauh pelakunya adalah Menteri Sosial, ataupun yang masih hangat yakni kasus pejabat di Direktorat Jenderal Pajak yang memalsukan plat Jeep Wrangler Rubicon demi menghindari membayar pajak, jelas saja menimbulkan pertanyaan kok Menteri Sosial korupsi bansos, kok bisa penjabat pajak anti bayar pajak? Jelas karena merasa dirinya tidak diawasi.
Lantas bagaimana sosok pemimpin ideal lahir kala
abuse of power begitu mudahnya? Simpelnya kita perlu putuskan terlebih dahulu sebuah masalah itu timbul karena
human error atau
system error?
Contoh kepolisian di suatu negara membuat sistem tes surat izin mengemudi dengan proses tes yang rumit, terkesan mempersulit dan ditambah ada sarana gelap negosiasi melalui uang sebutlah sistem suap agar surat tersebut selesai dibuat tanpa tes berbelit.
Jika itu oknum, maka tidak mungkin itu terjadi langgeng, seharusnya sudah ditangkap pelakunya terlebih itu terjadi di tempat di mana kejahatan dan pelanggaran ketertiban dilaporkan dan diproses secara hukum, artinya dalam kasus ini tidak mungkin ini sekadar masalah
human error (oknum) pasti
system error (sistem yang rusak).
Lantas apakah permasalahan
abuse of power terjadi sekadar oknum atau justru sistem yang rusak? Jawabannya adalah sistem.
Sistem yang diciptakan oleh manusia, ketika manusia memimpin manusia, maka mereka menggunakan nafsunya untuk menciptakan peraturan yang menguntungkan dirinya.
Dalam kasus yang lain bahkan menjadikan dirinya kebal hukum, sementara rakyat yang tak berkuasa mesti terdampak dari hukum yang si penjabat buat. Apakah manusia mampu menciptakan tolak ukur benar/salah atau baik/buruk? Jawabannya tidak.
Dalam hal ini penyimpangan kekuasaan terus berlangsung dan langgeng dilindungi oleh sistem. Misal dalam sebuah negara dibuatlah 5 tahun sekali pemilihan pemimpin, lalu ada banyak partai yang mencalonkan diri untuk melanjutkan kepemimpinan.
Dalam skenario kontestasi politik di negara tersebut, perlu biaya untuk berpartisipasi dalam politik praktis. Maka, para calon penjabat ini datang dari berbagai kalangan dan partai mencoba melakukan berbagai cara, dari negosiasi hingga bisnis janji kepada mereka yang dapat memberikan modal politik seperti pengusaha hingga
public figure.
Maka lahirlah kesepakatan bahwa jika si pejabat ini menang ia menawarkan peraturan untuk menguntungkan si pengusaha yang telah ia biayai operasional partainya. Sehingga lahirlah peraturan yang hanya menguntungkan para pemilik modal sebutlah kapitalis.
Ilustrasi ini merupakan gambaran sistem yang rusak. Sehingga tidak mungkin lahir seorang pemimpin yang ideal dari sistem ini.
Hakikatnya manusia perlu tunduk pada sang pencipta dan penguasa alam semesta, ketika manusia merasa dirinya berkuasa, maka tentu ia akan melakukan kedzaliman dan tidak mustahil menyalahgunakan kekuasaan.
Ketika dirinya tidak memiliki rasa takut terhadap sang pencipta yang berkuasa atas dirinya maka manusia lupa diri bahkan menuhankan dirinya sendiri dengan menciptakan hukum yang menyekutukan tuhannya.
Teringat sebuah kisah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab sebuah riwayat dari Aslam Radhiyallahuanhu seorang pendamping Khalifah bercerita saat itu Umar Radhiyallahu ‘anhu pergi ke Harrah (kawasan yang berbatu-batu terjal dekat Madinah). Lalu, terlihat nyala api di sebuah padang.
Sayyidina Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Itu mungkin kafilah yang karena kemalaman tidak bisa sampai ke kota, mereka terpaksa menunggu di luar kota. Marilah kita melihat keadaan mereka dan mengatur penjagaan untuk mereka malam ini!’ ujar Umar Radhiyallahuanhu kepada Aslam.
Setibanya di sana, tampak seorang wanita bersama beberapa anak kecil yang sedang menangis merengek-rengek. Wanita itu sedang merebus air dalam periuk di atas tungku yang menyala. Sayyidina Umar Radhiyallahu ‘anhu memberi salam kepada wanita tersebut dan meminta izin untuk mendekat. La bertanya, ‘Mengapa anak-anan ini menangis?’.
Wanita itu menjawab, ‘Mereka menangis karena menahan lapar.” Sayyidina Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apa yang sedang engkau masak dalam periuk itu?’ la menjawab, ‘Periuk ini berisi air, hanya untuk menghibur anak-anak agar mereka tenang dan tertidur. Aku akan mengadu kepada Allah Subhanahu wata’ala pada hari kiamat, mengapa Amirul Mukminin tidak memperhatikan kesusahanku.
Sayyidina Umar Radhiyallahu ‘anhu pun menangis dan berkata, ‘Semoga Allah merahmatimu, tetapi bagaimana mungkin Umar mengetahui keadaanmu? Jawabnya, ‘Dia pemimpin kami, maka seharusnya dia tahu keadaan kami.”
Sayyidina Aslam Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan ceritanya, “Lalu Sayyidina Umar mengajakku kembali ke Madinah. La mengambil sebuah karung, kemudian mengisinya dengan sedikit gandum, kurma, mentega, dan beberapa helai pakaian, juga beberapa dirham yang diambil dari Baitul Mal."
"Setelah karung penuh, ia berkata kepadaku, ‘Wahai Aslam, letakkan karung ini di pundakku!’ Aku menjawab, ‘Biarkan aku yang membawanya, ya Amirul Mukminin. Sahut Sayyidina Umar Radhiyallahu ‘anhu, ‘Tidak, letakkan saja di pundakku. Dua tiga kali, aku menawarkan diri dengan sedikit memaksa, la berkata, ‘Apakah kamu akan memikul dosa-dosaku pada hari kiamat? Aku sendiri yang akan memikulnya, aku sendirilah yang akan ditanya pada hari kiamat."
"Aku pun terpaksa meletakkan karung itu di bahunya. Lalu, dengan tergesa-gesa ia membawa karung itu ke kemah tadi dan aku ikut bersamanya. Setibanya di sana, ia langsung memasukkan tepung dan sedikit mentega ditambah kurma ke dalam periuk, lalu mengaduknya, dan ia sendiri yang menyalakan tungkunya."
Sayyidina Aslam Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan ceritanya, “Kulihat asap mengenai janggutnya yang lebat. Ia memasak hingga bubur siap dihidangkan. Lalu, ia sendiri yang menyiapkan makanan itu dengan tangannya yang penuh berkah kepada keluarga itu. Setelah kenyang, anak-anak itu bermain dengan riangnya. Sisa makanan diserahkan kepada mereka untuk hidangan berikutnya. Wanita itu pun sangat senang, ia berkata, ‘Semoga Allah memberimu balasan yang baik. Engkau lebih berhak menjadi khalifah daripada Umar. Untuk menyenangkan hati ibu tadi, Sayyidina Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, Jika engkau pergi menemui khalifah, engkau akan menjumpaiku di sana. Lalu, Sayyidina Umar Radhiyallahu ‘anhu menjauh sedikit dari tempat tersebut dan duduk di atas tanah agak lama, kemudian meninggalkan mereka".
Dari kisah di atas, apakah ada sosok pemimpin seperti Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu dalam sistem ini? Sungguh jauh sekali perilaku pejabat hari ini yang kikir, gemar ingkar janji, dan dzalim terhadap rakyatnya.
Lantas sampai kapan rakyat terkungkung dalam sistem ini?
Wallahu a’lam bi sowab. *Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ
BERITA TERKAIT: