Acaranya pun hanya untuk warga satu RT: RT 2 RW 8 Perumahan Sakura Regency. Yang memberi sambutan juga hanya satu: Pak RT, Pak Abdullah SH. Yang kini lagi membangun masjid RT yang sangat cantik. Yang penyumbang terbesarnya ya Laksamana Yudo Margono.
Di RT itulah rumah tinggal panglima TNI. Hanya tiga rumah dari tempat tinggal anaknya Pak Iskan. Lokasi acaranya juga di halaman rumah yang disebut terakhir itu. Di depan studio gamelan. Di bawah rindangnya pohon-pohon mangga. Di saksikan rembulan tanggal 14 bulan Ruwah.
Ini memang bagian dari ruwahan: nonton bareng rekaman wayang orang. Pemeran utamanya Anda sudah tahu: Laksamana Yudo Margono.
Panglima TNI itu menjadi panglima Pandawa di perang Bharatayuddha. Ia memerankan Bima Sena. Yang gagah perkasa.
Lakon pertunjukan itu: Pandawa Boyong. Dipentaskan di teater besar Taman Ismail Marzuki Jakarta bulan lalu. Warga RT ingin nonton rekamannya. Sekalian mengucapkan selamat kepada warganya yang diangkat menjadi Panglima TNI.
Kata ''boyong'' di lakon itu belum bisa diterjemahkan secara persis menjadi ''pindahan rumah''. Ini bukan sekadar pindah rumah. Ini tentang Pandawa yang pindah ke kerajaan yang dijanjikan.
Awalnya direncanakan, lakon pementasan itu Bima Suci. Rencananya Laksamana Yudo juga memerankan tokoh Bima Sena. Skenario sudah jadi. Para pemain sudah ditetapkan. Bahkan sudah mulai latihan.
Ternyata Laksamana Yudo dipanggil Presiden Jokowi. Ia diberi tahu: harus boyongan tugas. Dari Kepala Staf TNI Angkatan Laut ke Panglima TNI.
Yudo lantas kepikiran inisiatifnya mementaskan Bima Suci. "Wah lakon itu sudah gak tepat lagi. Tapi keadaan sudah berubah," ujar panglima saat ngobrol dengan warga.
Lakon Bima Suci fokusnya hanya di laut. Cocok untuk Angkatan Laut. Yakni ketika Bima Sena mencari sumbernya air suci.
Sebenarnya tugas pencarian itu jebakan maut yang dirancang musuh besar Pandawa. Yakni agar Bima Sena mau terjun ke lautan mencari sumber air suci di dasar samudera. Harusnya ia mati. Pandawa bisa kehilangan panglima perangnya. Pandawa pun menjadi lemah dan kalah.
Tapi lantaran itu perintah guru spiritualnya, Pandita Durna, Bima Sena menjalaninya juga. Dengan kesungguhan seorang santri. Dengan keyakinan yang kuat.
Dengan hati yang bersih tugas yang sangat bahaya pun bisa berhasil. Keyakinan yang kuat membuat alam berpihak padanya.
Pandita Durna pun kecele. Kelicikan kalah dengan keyakinan. Tugas yang mencelakakan itu justru menghasilkan kemuliaan.
Akhirnya Laksamana Yudo mengubah pementasan itu. Lakonnya diganti baru: Pandawa Boyong. Pemainnya pun dirombak total: tidak lagi hanya personel dari TNI-AL.
KSAD, Jenderal Dudung Abdurrahman memerankan Kepala Staf Angkatan Dewa: Batara Guru.
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo jadi putra sulung Pandawa, Prabu Puntadewa.KSAU Marsekal Fajar Prasetyo sebagai Eyang Abiyasa.
Masih ada Wakasad Jenderal Agus Subianto yang menjadi Batara Brahma. Istri Yudo sendiri, Veronica, menjadi Dewi Nagageni, istri pertama Bima Sena.
Ayla Jaya Suprana jadi wayang tercantik: Banowati. Jaya Suprana sendiri jadi figuran numpang lewat.
Masih banyak jenderal bintang satu dan dua yang ikut jadi pemain. Khusus untuk memerankan tokoh yang licik, culas, penipu, dan pembohong seperti Sengkuni, Yudo kesulitan.
"Di TNI tidak ada yang cocok memerankan tokoh itu," ujar Laksamana Yudo lantas tersenyum.
Anak Pak Iskan yang jadi moderator sarasehan itu cepat-cepat menimpali. "Harusnya panglima dengan mudah bisa mencari pelakon Sengkuni dari kalangan politisi," guraunya.
Sebelum nobar itu memang diadakan sarasehan budaya. Pembicaranya Laksamana Yudo dan pelawak Kirun.
Agar tidak terasa tiga-tiganya dari Madiun ditambahkan satu pembicara dari kampus: Dr Djoko Prakosa. Asli Solo. Kebetulan hari itu Djoko mendapat gelar doktor dari Universitas Airlangga. Disertasinya tentang tayub Tuban. S1-nya dari ISI Solo tentang tari srimpi, dan S2 di Unair tentang Jaranan Suroboyo. Hadir juga di acara itu, Bupati Ponorogo yang juga seniman: Sugiri Sancoko.
Akhirnya pemeran Sengkuni ditemukan. Yakni diambilkan dari pemain wayang profesional anggota perkumpulan wayang orang Bharata, Jakarta.
Lakon Pandawa Boyong ini praktis sama dengan lakon Perang Bharatayuddha.
Episode ini panjang sekali. Juga ada bagian yang sangat mengharukan. Yakni dialog Dewi Kunthi dengan anak sulungnya, Adipati Karna, yang menyeberang ke pihak Kurawa. Juga saat Srikandi harus perang melawan Bhisma.
Episode Pandawa Boyong ini dipentaskan tiga jam. Tapi karena pemerannya berbintang semua jatuhnya tidak membosankan. Orang ingin tahu pejabat tinggi siapa mainnya seperti apa.
Laksamana Yudo tentu yang paling menghayati perannya. Antara lain karena ia sendiri penggemar budaya Jawa.
Ia orang desa di Madiun. Desa Garon yang dulu sering tergenang. Rumah kelahirannya itu kini tidak jauh dari lampu bangjo exit toll Madiun. Kalau belok kanan ke rumah Kirun. Belok kiri ke rumah Yudo. Di dekat bangjo itu kini dihiasi monumen tank.
Desa itu di zaman Yudo kecil selalu banjir. Sawah tergenang. Petani susah produktif. Hasil andalan desa itu: tikar mendong. Yakni alas tidur terbuat dari anyaman daun mendong. Itulah yang subur di area yang sering tergenang air. Hiburan kala itu memang hanya wayang kulit, reog Ponorogo, ketoprak, dan wayang orang.
Begitu cintanya pada budaya Jawa, Laksamana Yudo sampai menciptakan gending lagu Jalesveva Jayamahe �"krido TNI AL yang artinya di laut lah kita jaya.
Sebelum sarasehan, gending itu dinyanyikan Laksamana Yudo dengan iringan gamelan yang ditabuh menantu Pak Iskan. Ibu-ibu grup senam memang latihan gamelan seminggu sekali.
Lagu ini jadi pusat perhatian karena ada yang joget: si kecil cucu Laksamana Yudo. Dia suka joget. Tanpa henti. Bahkan sejak lagu-lagu sebelumnya: Perahu Layar, Gugur Gunung, dan yang dinyanyikan anggota DPR RI Komisi XI dari PDI-Perjuangan Indah Kurnia: Ojo Dipleroki.
Kapolri cocok jadi Puntadewa karena pembawaannya yang halus. Mungkin kepuntadewaannya itulah yang membuat Kapolri bisa menangani kasus Bharatayuddha di Polri dengan dingin: Sambo.
Yang paling kocak memang Vero. Bicaranyi spontan dan lepas. Improvisasinya begitu banyak.
Sudah lama kita tidak melihat para pejabat tinggi naik panggung sandiwara. Orang seperti Kirun berada di persimpangan jalan. Kirun jadi Bagong malam itu. Ia senang karena budaya asli Nusantara akan berkembang.
Tapi ia juga waswas: "Jangan-jangan saya kehilangan pekerjaan," gurau Kirun lantas membagong.
BERITA TERKAIT: