Wanita paruh bayah yang juga Presiden ke-5 RI ini berpidato dalam rangka mengenang jasa partai sehubungan dengan hari ulang tahun PDIP. Namun dalam pidatonya Megawati kerap kali memuji dirinya, tak lupa juga merendahkan orang lain, tak terkecuali presiden yang saat ini juga masih menjadi kader PDIP.
Ia menyinggung soal jasa partai yang Ia pimpin saat ini begitu besar terhadap Presiden ke-7 RI, Joko Widodo. Hingga dalam cuitannya, ia menyebut bahwa Jokowi bukanlah siapa siapa kalau bukan karena PDIP.
Bukan hanya menyindir Presiden Jokowi, dalam pidatonya, Megawati juga kerap kali memuji diri sendrii dengan menyebutkan sejumlah kelebihannya. Awalnya ia bercerita tentang dirinya yang tiap kali selfie lalu banyak pengikutnya, seperti tiba-tiba sejumlah orang ikut foto di belakangnya. Ia pun menjelaskan alasan mengapa dirinya menjadi daya tarik.
"Karena kenapa? Satu perempuan. Dua, cantik, baru dua saja sudah ditepuki. Tiga, karismatik. Empat, pintar. Aku tahu-tahu ketiban (gelar kehormatan akademis) profesor saja dua," ujarnya di podium HUT PDIP kala itu.
Hal ini tentu mengundang respon beragam dari berbagai tokoh politik, salah satunya eks Deklarator PAN, Abdilah Toha. Melalui cuitannya, Abdilah menyebut Megawati dinilai meremehkan orang lain termasuk Presiden RI sebagai kepala negara.
Selain itu menyusul juga cuitan Ahmad Khoirul Umam, Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic). Menurutnya, Megawati sedang ada di fase surplus kepercayaan diri. Hal ini tampak dari materi pidatonya hingga cara pembawaannya yang terkesan meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain.
Selain respons negatif, pembelaan pun datang dari anaknya, yaitu Puan Maharani menyebut bahwa itu adalah bentuk ekspresi sayang layaknya ibu terhadap anak.
“Ibu Mega itu sayang banget sama Pak Jokowi, dan hormat sekali dengan Pak Jokowi sebagai presiden. Karena itu acara internal PDIP. Dianggap semuanya itu anak-anaknya,†imbuhnya memberikan klarifikasi.
Bagi penulis masalah ini sederhana. Ucapan seseorang merupakan representasi nilai yang ada pada diri seseorang. Terlebih sebagai sosok yang bukan saja dikenal, bahkan seorang pemimpin maka kata-katanya merupakan benang merah dalam mendeskripsikan apa yang dia pikirkan bahkan kepribadiannya. Tak perlu menjelaskan "Aku ini begini, begitu dan seterusnya".
Padahal dengan memilih menjelaskan kepada orang-orang dirinya seperti apa terlebih memuji diri sendiri di depan banyak orang sudah barang tentu orang lain akan menilai seperti apa kepribadiannya yang sebenarnya.
Berdasarkan analisis penulis, Bu Mega ini unik. Selain mahir menarik perhatian, ia juga pandai merangkai kata sehingga ada saja buntut panjang dari kalimat yang terucap dari mulutnya. Bila menarik benang merah lebih jauh terhadap sosok Bu Mega, banyak hal yang melatarbelakangi sikap Bu Mega yang kian meresahkan.
Yang pertama, latar belakang dirinya yang merupakan anak dari presiden pertama. Siapa yang tak kenal dengan sang plokamator kemerdekaan Indonesia? Tentu saja sejak bangku sekolah dasar sudah diperkenalkan sedari dini siapakah sosok Soekarno.
Namun pertanyaannya apakah sudah barang tentu mereka yang mengenal Soekarno juga mengenal anaknya? Terkhusus anak yang paling menggemaskan yang satu ini, Megawati.
Jawabannya, belum tentu semua orang mengenal Megawati yang merupakan anak dari sang plokamator. Maka dari itu seringkali kita mendengar ibu ini berceramah tentang jasa bapaknya dan menjelaskan betapa ia adalah anaknya.
Munculah kebanggaan tiap kali bercerita tentang ayahnya dan pada akhirnya ia menyelipkan pujian terhadap dirinya. Merasa bahwa terlahir sebagai anak dari sang plokamator merupakan kelebihan yang patut ia banggakan.
faktor selanjutnya, Megawati adalah Presiden ke-5 RI. Memang itulah kenyataan yang harus diterima, bahwa dirinya pernah menduduki jabatan sebagai orang nomor satu di Indonesia.
Beberapa kali dalam pidatonya Ia juga sering menyinggung bahwa ketika ia menjadi presiden Ia melakukan hal ini dan itu, sembari mengkritik orang lain dan memuji dirinya yang mengaku cukup sukses saat dirinya menjadi presiden.
Padahal jika mengingat masa kepemimpinannya, setidaknya ada satu warisan yang paling membekas ditinggalkan oleh Bu Mega kala itu yaitu privatisasi BUMN. Indosat dijual seharga Rp 4,6 triliun kepada Tamasek Holding Company, BUMN Singapura dengan alasan bayar utang.
Meskipun dalam setiap masa kepemimpinan tidak ada yang sempurna ada saja baik buruknya. Namun yang jelas memuji diri sendiri bukanlah perbuatan yang baik dan layak dipertontonkan oleh tokoh masyarakat.
Dan faktor terakhir. Ia merupakan politikus senior. Bila melihat statistik perjalanan Bu Mega di perpolitikan bangsa tentu saja ia merupakan salah satu politikus terkuat terlebih saat ini elektabilitas dihegemoni oleh partai yang dipimpin saat ini, yakni PDIP.
Maka sebagai sosok Bu Mega rasanya sombong bukan lagi hal yang tabu, apalagi hal yang patut dihindari. Bu Mega memang sekilas mengingatkan penulis tentang kisah kehancuran Firaun di era mesir kuno. Nabi Musa yang kala itu berdakwah menyampaikan firman ilahi seringkali mendapatkan kecaman, ancaman bahkan hingga membahayakan nyawanya.
Namun tahukah kapan Allah hancurkan kepemimpinan tangan besi Firaun? Justru kala Fir'aun berada pada titik puncak kejayaan. Kekuatan bala tentara, kekuasaan yang tiada tara, hingga dukungan kolega yang loyal dan setara juga senantiasa mendukung kezaliman Firaun.
Balam si tokoh agama penjilat penguasa, Haman si jenius yang menyabotase pikiran untuk melanggengkan kekuasaan, dan Qorun si hartawan yang bersekongkol dengan penguasa.
Namun sayang nya saat di puncak kejayaannya Firaun justru ditenggelamkan di laut merah ketika mengejar Musa dan pengikutnya yang justru sebaliknya berada di titik paling lemah. Pada akhirnya Allah berikan kekuatan sehingga dengan Tongkat Nabi Musa terbelahlah lautan.
Hari ini pun sama, Megawati dengan kolega setianya berada pada puncak kejayaan. Entah apakah juga berakhir dengan cara yang sama.
Wallahu A'lam Bi Sowab.*Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta
BERITA TERKAIT: