Tampaknya di Tanah Air sedang heboh dan menjadi polemik di ruang publik soal SERANGAN UMUM 1 MARET 1949 TERHADAP KEDUDUKAN BELANDA DI YOGYAKARTA. Oleh sebab itu, kita belokkan napaktilas sejarah kita dari Kerajaan Sikka di Pulau Flores ke Yogyakarta pada masa yang kurang lebih sama: akhir 1940an.
Polemik yang muncul konon dipicu Keputusan Presiden No. 2/2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara yang baru-baru ini dikeluarkan dimana nama SOEHARTO tidak tercantum; narasi dalam Kepres tersebut hanya menyebutkan bahwa ide serangan itu datang dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, diperintahkan oleh Jendral Sudirman, serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan didukung oleh TNI dan laskar-laskar rakyat lainnya (lihat: https://www.youtube.com/watch?v=W1pfxYQG8ko).
Lepas dari polemik yang sedang terjadi, sebenarnya cukup lucu juga bahwa apa yang terjadi baru terjadi 73 tahun lalu itu seolah merupakan peristiwa yang tidak ada datanya, diutak atik semau gue, padahal tahun 1940an adalah zaman yang sudah cukup modern dengan teknologi perekaman peristiwa yang sudah cukup canggih (kamera, film, mesin ketik, mesin cetak, dll.). Bagaimana ini bisa terjadi pada sebuah bangsa?
Dalam kesempatan ini, saya postingkan beberapa guntingan koran berbahasa Belanda yang terbit pada bulan Maret 1949 dan bulan-bulan sesudahnya, sampai Presiden Soekarno kembali ke Yogya dari tempat beliau diasingkan oleh Belanda di Prapat/Bangka pada 5 Juli 1949.
Koran-koran berbahasa Belanda ini merujuk kepada kantor berita Aneta dan juga koran-koran vernakular berbahasa Indonesia yang terbit pada waktu itu, seperti NASIONAL, KEDAULATAN RAKJAT, MATARAM, SOERJA TJANDRA, PEDOMAN, dan lain-lain. Banyak lagi guntingan koran yang memberitakan Serangan Umum 1 Maret ini 1949 ini, dan situasi selepas serangan itu, yang tidak mungkin saya postingkan semuanya di sini. Namun, secara umum situasi yang digambarkan oleh media kurang lebih sebagai berikut.
Tanggal 3 Maret, dua hari setelah serangan, beberapa media melaporkan apa yang mereka sebut sebagai "serangan kaum ekstrimis terhadap Djogja".
"Pukul 6 pagi tanggal hari Senin 1 Maret 1949, kelompok ekstrimis yang sangat kuat di berbagai tempat di Yogya melancarkan serangan", demikian laporan koran 'Provinciale Drentsche en Asser courant' (Assen) Kamis 03-03-1949, misalnya. Dikatakan bahwa menurut seorang koresponden khusus mereka dari Aneta Yogya yang mewawancarai Kolonel Van Langen, komandan tentara Belanda di Yogyakarta, para 'ekstrimis' ini , menurut sang Kolonel, memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang langgeng.
Selanjutnya dilaporkan, setelah para pejuang Republik Indonesia mundur, situasi Yogya terkendali lagi.
Kerugian di pihak Belanda: enam orang tewas (3 di antaranya polisi) dan empat belas orang luka-luka.
Dilaporkan bahwa gangguan telah benar-benar berakhir sekitar jam 11 pagi. Diperkirakan sekitar 2.000 orang, yang tergabung dalam kelompok-kelompok pejuang di sekitar kota, telah ikut ambil bagian dalam serangan bersama itu (Ibid., 04-03-1949)
"Hari Rabu kembali damai di Djogja, pemandangan kota kembali normal, pasar ramai dan bioskop kembali beroperasi", demikian ulasan koran ini.
Walau bagaimanapun, serangan ini tampaknya amat mengejutkan Belanda. Jenderal Spoor segera mengunjungi Yogya pada hari Rabu, 2 Maret (sehari setelah serangan). Ia tiba pukul 11 pagi dengan pesawatnya sendiri dan berangkat sore hari dengan mobil via Magelang menuju Semarang. Sebelum kedatangan Jenderal Spoor, komisaris pemerintah Angenent, komandan teritorial, Jenderal Meyer dan perwira senior lainnya telah tiba dari Semarang dengan pesawat tambahan untuk membahas situasi tersebut.
Jenderal Meyer dan Komisaris Pemerintah Angenent dan Residen Yogya Stok mengunjungi Keraton Sultan Yogya pada hari Rabu (2 Maret) pukul 12.00. Kunjungan berlangsung selama setengah jam. Disertai dengan pasukan Belanda, mereka memeriksa Istana Sultan Yogya, karena ada isu bahwa Jendral Sudirman bersembunyi di dalam Istana. Mereka bertemu sendiri dengan Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan mengatakan bahwa tidak ada anggota kelompok penyerang bersembunyi dalam lingkungan kraton (Ibid., 04-03-1949).
Laporan media ini mengesankan bahwa Sultan Hamengku Buwono IX berada di Istana/dalam kota Yogya sehari setelah serangan 1 Maret terjadi. Artinya, beliau tampaknya tetap berada di dalam kota ketika serangan itu terjadi. Kolonel Soeharto sendiri tampaknya tidak berada di dalam kota Yogya. Dari laporan berbagai media sepanjang bulan itu dan bulan-bulan selanjutnya dapat dikesan bahwa hubungan antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan Kolonel Soeharto sangat rapat. Sudah sejak sebelum Belanda melancarkan agresi ke-2, Sultan sudah memerintahkan Kolonel Soeharto pada bulan Februari 1949 untuk menata keamanan kota Yogyakarta. Menurut Sri Sultan, Yogya saat itu memiliki 2.000 pasukan terpilih dan berdisiplin, terdiri dari 600 T.N.I. dan sisanya polisi. Kolonel Soeharto diminta untuk dapat mengendalikan kelompok-kelompok yang berpotensi menimbulkan kerusuhan dan untuk tidak melakukan kontak senjata dengan pihak Belanda.
Jenderal Sudirman, yang tidak berhasil ditangkap oleh Belanda, terus melanjutkan perang gerilya bersama pasukan TNI dan kelompok-kelompok laskar rakyat lainnya. "Tuhan bersama kita", ungkapnya, sebagaimana dikutip oleh 'Nieuwe Apeldoornsche courant' (Apeldoorn), Senin 14-03-1949.
Pada bulan Juni 1949, menyusul disepakatinya Perjanjian Rum-Royen oleh kedua pihak yang bertikai, Sultan Hamengku Buwono IX, setelah berkonsultasi dengan Jendral Sudirman, menetapkan Yogya sebagai daerah dengan memerintahan semi militer. Eksekusi di lapangan dipercayakan kepada Letnan Kolonel Soeharto ('Nijmeegsch dagblad' [Nijmegen], Selasa, 21-06-1949; De Locomotief [Semarang], Rabu, 22-06-1949).
Perjanjian Rum-Royen mengharuskan Belanda mundur dari Keresidenan Yogyakarta. Penarikan pasukan Belanda berjalan lancar, demikian dilamporkan oleh harian 'Maasbode' (Rotterdam) edisi Sabtu 25 Juni 1949 di bawah judul: "Troepen trokken uit Wonosari. Nederlanders gedeprimeerd" (Pasukan mundur dari Wonosari. Belandan tertekan).
Pasukan gerilya Republik dengan tertib mengambil alih Wonosari di selatan Yogyakarta dari pasukan Belanda. Administrasi kota diambil alih di bawah pengawasan pengamat militer PBB. Pada pukul 10 waktu setempat garnisun Belanda, yang terdiri dari 150 orang, meninggalkan markasnya dan lima belas menit kemudian kota itu berada di tangan Republik. Evakuasi dipimpin oleh komandan Belanda, Kolonel Van Langen, yang mengatakan bahwa sejauh ini tidak ada insiden yang terjadi. Sultan Hamengku Buwono IX, Gubernur Militer Republik Yogyakarta, hadir pada saat keberangkatan pasukan Belanda itu.
Kolonel Van Langen mengatakan bahwa penduduk setempat terus bekerja di ladang mereka selama penarikan pasukan Belanda dilakukan, dan aktivitas di pasar berjalan normal. Pasukan Republik yang masuk ke Wonosari dikomandoi oleh Letnan Kolonel Soeharto.
Bandara Maguwo yang direbut oleh Belanda pada bulan Desember akan diserahkan ke pihak Republik pada 28 Juni, sedangkan evakuasi pasukan Belanda dari Yogya sendiri akan menyusul sehari kemudian.
Kolonel Van Langen mengumumkan bahwa yang terakhir dari 4.500 tentara Belanda akan meninggalkan kota itu pada tanggal 29 Juni antara pukul empat dan lima sore. Dia mengatakan pasukan Belanda akan ditarik ke barat dan timur laut kota.
Saat ditanya tentang suasana hati tentara Belanda yang telah meninggalkan Wonosari, Kolonel Van Langen mengaku tertekan.
Dikabarkan pula bahwa dua orang Indonesia tewas di pusat kota Yogyakarta sehari sebelumnya, salah seorang di antaranya tewas dalam bentrokan bersenjata antara patroli Belanda dan kelompok bersenjata.
Bekerjasama dengan Kepala Polisi Sumarto, Letkol Suharto terus memulihkan kententraman kota Yogyakarta. Brimob disiapkan dengan jumlah anggota yang diperluas menjadi 300 orang, yang anggotanya direkrut dari pasukan gerilya yang sudah dilatih. Mereka tetap berada di bawah komando TNI. Sultan memiliki kewenangan untuk merekrut sampai 2.400 polisi negara. Dalam beberapa minggu ke depan, pemerintahan akan diserahkan ke otoritas sipil. Demikian laporan 'De Nieuwe courant' yang berbasis di Surabaya dalam edisinya tgl. 6 Juli 1949 (Rabu) di bawah kolom: "Handhaving rust en orde' (Menjaga ketentraman dan ketertiban).
Presiden Soekarno baru kembali ke Yogyakarta lagi pada hari Rabu tanggal 6 Juli 1949 jam 13:00 ('Nieuwe Apeldoornsche courant' (Apeldoorn) Kamis 07-07-1949). Sebagaimana sudah sama diketahui, bersama Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, dan St. Sjahrir, ia ditangkap Belanda pada 19 Desember 1948 di Yogya ketika Belanda melancarkan �"Operasi Kraai†(Operasi Gagak) yang menandai dimulainya agresi kedua mereka. Soekarno, St. Sjahrir dan H. Agus Salim dibawa ke Prapat (Sumatra Utara), sementara Hatta diasingkan ke Pulau Bangka (Manumbing).
Praktis, sejak 19 Desember 1948 sampai 5 Juli 1949 Soekarno dan Bung Hatta berada jauh dari Yogya dan tidak dapat berbuat banyak, apalagi memimpin serangan gerilya, karena mereka sedang berada dalam tawanan Belanda di Pulau Sumatra. Inilah sebentuk amnesia sejarah yang dengan dungu diperlihatkan secara telanjang dalam Kepres No.2/2022 itu.
Kemenangan TNI dan laskar-laskar rakyat dirayakan di Yogyakarta pada Selasa pagi 4 Oktober 1949. Dalam laporannya di bawah kolom "Legerdag in Djogja", surat kabar 'De Locomotief' (Semarang) edisi Kamis 6 Oktober 1949 menuliskan:
Perayaan Hari Tentara di Yogyakarta pada Rabu pagi mencapai klimaksnya ketika satuan-satuan TNI yang dipimpin Letkol Soeharto menggelar pawai di depan para petinggi militer, antara lain Panglima TNI Presiden Sukarno, Pemimpin TNI Jenderal Soedirman, Letnan Jenderal Hamengku Buwono, para menteri dan banyak personel militer terkemuka.
Ribuan orang menyaksikan pawai ini. Usai pawai, Presiden Sukarno selaku Panglima TNI menganugrahkan "Bintang Gerilya" kepada semua anggota Divisi I, II, III, IV, Divisi Sumatra dan Divisi Kalimantan.
Parade ini juga dihadiri seluruh anggota komisi militer UNCI yang tiba di Yogyakarta pada Rabu pagi dengan menggunakan pesawat UNCI yang dipimpin Brigjen Prior.
Minggu kedua Desember 1949 terbentuk Panitia Penyelenggaraan Sidang Pemilihan dan Pelantikan Presiden R.I.S. Panitia tersebut diketuai oleh mr. Wongsonegoro dengan wakilnya, mr. Samsoeddin dan Kolonel Paku Alam. Sedangkan anggotanya terdiri dari: Ruslan Abdoelgani, Ki Hadjar Dewantoro, Djanoe Ismadi, mr. A.G. Pringgodigdo, mr. Mohamad Yamin, Pangeran Poerwokoesoemo, Roedjito, Pangeran Poerbojo, K.R.T. Honggowongso, dan overste Soeharto, serta R.M. Harjoto sebagai Sekretaris.
Pada 17 Desember jam 9 pagi Presiden R.I.S. Ir. Soekarno dilantik dan diambil sumpahnya di Pendopo Kepatihan Istana Yogyakarta. Setelah itu diadakan defile pasukan TNI di alun-alun Yogya yang dipimpin overste Soeharto ('De Locomotief' [Semarang], Jumat 16-12-1949).
Demikian yang dapa saya sarikan dari koran-koran Belanda yang terbit semasa. Dari laporan ini dapat dikesan peran penting tiga orang yang nama mereka hampir selalu muncul dalam laporan-laporan media dalam periode kritis yang dihadapi oleh pihak Republik di Yogyakarta dan sekitarnya. Mereka adalah: Jendral Sudirman, Sultan Hamengku Buwono IX, dan Letkol Soeharto. Dalam hal in, Letkol Soeharto dan pasukannya, bahkan sejak sebelum Belanda menduduki Yogya sampai penarikan pasukan Belanda dari Wonosari dan Yogyakarta, bahkan sampai pelantikan Ir. Soekarno sebagai Presiden R.I.S., overste Soeharto selalu aktif dalam mengkonsolidasikan pasukan TNI/anak buahnya, baik dalam rangka perayaan maupun untuk pengamanan rakyat dan para penjabat sipil.
Maka, jika ada seorang pelaku sejarah yang (mungkin karena memilih ideologi yang berbeda di kemudian hari) mengatakan bahwa Letkol Soeharto leyeh-leyeh saja makan soto babat saat serangan umum 1 Maret 1949 di Yogya terjadi, yang melibatkan tidak kurang dari 2.000 orang TNI dan para pejuang dari berbagai kelompok, maka terserah kepada logika generasi sekarang sajalah untuk menilainnya.
BERITA TERKAIT: