Sebab, gelar profesor sangat sulit didapat para akademisi karena harus melalui beragam tahap, mulai dari banyaknya karya hingga kewajiban mengajar bertahun-tahun.
Hal itu berbeda dengan rencana pemberian gelar kehormatan kepada Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut.
"Penganugrahan kepada Megawati justru menimbulkan kecemburuan bagi para akademisi yang sangat sulit dan penuh perjuangan untuk mendapatkannya," kata pakar politik dan hukum Universitas Nasional, Saiful Anam kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (10/6).
"Saya kira tidak pantas dan tidak memberikan pendidikan yang baik kepada publik, karena apa? Mestinya gelar gurubesar kehormatan itu diberikan kepada orang-orang yang benar-benar berhak," sambungnya.
Belum lagi bila melihat rekam jejak kepemimpinan Megawati Soekarnoputri periode 2001 sampai 2004 yang tak melulu berkinerja positif. Salah satunya keputusan untuk melepas sebagian saham Indosat pada tahun 2002 kepada Singapore Technologies Telemedia (STT).
"Selain itu, kalau misalnya mau diberikan kenapa harus Unhan? Kenapa tidak universitas lain? Tentu hal tersebut yang menjadi perhatian publik," tegasnya.
Berkaca dari rencana pemberian profesor kehormatan kepada Mega ini, ia pun berharap kepada universitas di Indonesia untuk lebih mengutamakan akademisi yang memang layak diberi gelar profesor dibanding politisi.
"Ke depan sebaiknya
balance, gurubesar kehormatan tidak hanya diberikan kepada politisi, juga bagi mereka yang memiliki prestasi dan karya nyata bagi bangsa dan negara. Baik doktor honoris causa maupun profesor kehormatan jangan diobral, justru menurunkan tingkat kesakralannya," pungkas Saiful.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: