Soepriyadi lahir di Trenggalek, Jawa Timur, 13 April 1923. Ia adalah pemimpin sekelompok tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang melakukan perlawanan terhadap tentara Jepang pada 14 Februari 1943.
Saat itu Soepriyadi berpangkat
Shodancho. Setingkat komandan peleton. Menurut buku
100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di abad 20 (2017), nama kecil Soepriyadi adalah Priyambodo.
Sementara Joyce C Lebra dalam buku T
entara Gemblengan Jepang (1988) menyebut, Soepriyadi adalah seorang komandan peleton yang memiliki pembawaan tenang, religius, dan mistis. Sejak kecil, dia gemar bermeditasi dan puasa. Dia termasuk salah seorang perwira PETA pertama yang mendapat gemblengan di
Seinen Dojo (Barisan Pemuda) di Tangerang, di bawah pimpinan Yanagawa.
Literasi lain menyebut, Soepriyadi merupakan putra pertama dari pasangan Raden Darmadi dan Raden Roro Rahayu. Raden Darmadi yang dikenal sebagai Bupati Blitar saat kemerdekaan Indonesia. Sedangkan ibunya merupakan keturunan bangsawan.
Soepriyadi mulai mengenyam pendidikan pertamanya dengan bersekolah di ELS (
Europeesche Lagere School) yang setara dengan sekolah dasar. Tamat dari sana, ia kemudian masuk sekolah di MULO (
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setingkat SMP.
Dari situ ia kemudian melanjutkan pendidikannya di MOSVIA (
Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) di Magelang yang merupakan sekolah untuk kaum bangsawan. Saat dia belajar di Magelang, Jepang menyerbu Hindia Belanda sehingga Soepriyadi belum menyelesaikan sekolahnya.
Soepriyadi kemudian bergabung dengan pelatihan militer yang diadakan Jepang yang dikenal dengan nama Seinindojo di wilayah Tangerang. tahun 1943, Ketika Jepang mulai membentuk pasukan PETA (Pembela Tanah Air), Soepriyadi pun ikut bergabung dengan pangkat
shodancho atau komandan peleton. Soepriyadi sempat mengikuti pelatihan
Seimendoyo di Tangerang, Jawa Barat.
Usai menjalani pelatihan, ia dikirim ke Daidan (Batalyon) Blitar, Jawa Timur. Ia mengomandoi pasukan Peleton I dan Kompi III yang bertugas memberi bantuan senjata berat. Pada kesempatan lain, Peleton Soepriyadi juga ditugaskan untuk mengawasi pekerja romusha yang membangun infrastruktur militer di Pantai Laut Selatan.
Saat itulah, Soepriyadi melihat kenyataan di lapangan tentang perlakuan kejam bala tentara Jepang terhadap rakyat jelata yang dipekerjakan. Mereka dipaksa bekerja sepanjang waktu, tanpa upah dan tanpa pasokan makanan yang memadai.
Tentara Jepang juga kerap dengan semena-mena menyiksa dan memeras rakyat. Memaksa rakyat untuk menjual hasil pangan seperti padi, telur dan lainnya untuk logistik militer. Sementara, rakyat sendiri menderita kelaparan.
Kondisi itulah yang mendorong Soepriyadi untuk menggalang perlawanan terhadap tentara Jepang. Ia mengadakan rapat-rapat rahasia dengan sejumlah komandan PETA lain yang sepaham untuk menyusun rencana perlawanan. Perjuangan ini bukan sekedar balas dendam atas kekejaman Tentara Jepang terhadap rakyat tapi juga untuk merebut kemerdekaan Indonesia.
Pada 14 Februari 1945, pemberontakan pecah. Soepriyadi memimpin sekitar 360 anggota PETA lainnya, menyerbu Hotel Sakura, tempat para perwira Jepang di Blitar menginap. Mereka membunuh tentara Jepang, merebut senjata dan membebaskan tahanan yang dipenjara .
Tapi, kekuatan kelompok perlawanan yang dipimpin Soepriyadi itu kalah jauh dengan kekuatan militer Tentara Kekaisaran Jepang. Apalagi, perlawanan ini berjalan sendiri tanpa dukungan dari PETA lainnya.
Jepang berhasil memadamkan pemberontakan ini. Sedikitnya 68 anggota kelompok Soepriyadi berhasil ditangkap. Lainnya, gugur saat melakukan perlawanan. Mereka yang ditangkap sebagaian dibawa ke Jakarta untuk diadili di Pengadilan Militer. Sebagian lain, diasingkan ke daerah lereng Gunung Wilis.
Sedangkan Soepriyadi sendiri tidak jelas keberadaannya. Banyak spekulasi yang berkembang. Ada yang menyebut, ia telah ditangkap dan dieksekusi mati secara rahasia oleh tentara Jepang. Spekulasi lain menyebut, Soepriyadi berhasil melarikan diri dan bersembunyi dari kejaran tentara Jepang. Tapi, rumor itu tidak didukung dengan fakta yang sahih yang dapat dibuktikan.
Dua bulan setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Presiden Soekarno melantik kabinet pertama. Pada 6 Oktober 1945, pemerintah mengangkat Soepriyadi menjadi Menteri Keamanan Rakyat RI yang pertama. Namun, hingga hari pelantikan anggota kabinet, Soepriyadi tidak pernah muncul. Pada 20 Oktober 1945, posisi digantikan oleh menteri ad interim Imam Muhammad Suliyoadikusumo.
Hal yang menarik adalah apabila memang Soepriyadi sudah gugur, mengapa Presiden pertama RI Soekarno tetap menunjuknya sebagai Menteri Keamanan Rakyat?
"Itulah hebatnya Soekarno,†kata penulis sejarah yang dipercaya Pemerintah Kota Blitar, Bambang In Mardiono.
“Bahwa pengangkatan Soepriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat digunakan sebagai simbolik. Bahwa Kemerdekaan Indonesia bukan hadiah Jepang. Dengan pemberontak kepada Jepang justru diangkat sebagai menterinya," kata pria yang akrab disapa Mbah Gudel itu saat diwawancarai media di Perpus Bung Karno, Kamis 16 Agustus 2018 lalu.
Sementara itu, buku berjudul
Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia (1979) karya Nugroho Notosusanto, menyebut, Soepriyadi sebenarnya telah berhasil ditangkap dan gugur pasca pemberontakan itu.
Soepriyadi tertangkap pasukan Jepang. Ia meninggal dunia akibat siksaan selama interogasi. “Karena situasi yang gawat waktu itu, peristiwa itu dirahasiakan oleh mereka yang terlibat, boleh jadi
Kempeitai, untuk menghindari pemberontakan yang lebih luas,†tulis Nugroho.
Pendapat berbeda dikemukakan anggota tim Badan Pembina Pahlawan Pusat Departemen Sosial dan anggota tim penyusunan buku Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan Seri Pemberontakan Peta Blitar, Sagimun MD.
Dalam buku
Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap Fasisme Jepang (1985), Sagimun mengatakan, berdasarkan hasil riset dan wawancara yang dilakukannya, ada fakta lain bahwa Soepriyadi berhasil lolos dan melarikan diri pasca pemberantakan.
Argumentasi Sagimun, berdasarkan hasil wawancaranya dengan sejumlah narasumber yang hidup sezaman dengan Soepriyadi. Sagimun mewawancarai Harjomiarso (Kepala Desa Sumberagung, Blitar), Romomejo (tetua Desa Ngliman di Kabupaten Nganjuk), M Nakajima (bekas anggota Beppan, badan intelejen tentara Jepang dan bekas anak buah Yanagawa yang ikut melatih Soepriyadi di Tangerang). Ia juga mewawancarai Haji Mukandar (penduduk di Bayah, Banten Selatan yang mengaku pernah memandikan dan memakamkan jenazah Soepriyadi).
“Kesimpulannya, Soepriyadi berhasil meloloskan diri dari kejaran tentara Jepang, dengan menyamar menjadi rakyat biasa dan sebagai mandor romusha di Bayah. Kemudian berusaha meneruskan perjuangannya menentang Jepang. Soepriyadi wafat di Bayah akibat penyakit disentri kira-kira sebulan sebelum proklamasi,†tulis Sagimun MD.
Sagimun mengatakan, banyak versi cerita lain terkait Soepriyadi. Termasuk orang yang mengaku sebagai dirinya. Tapi kesaksian dan pendalaman menunjukkan pengakuan itu tidak memiliki bukti kuat.
Diketahui terakhir yang dapat dibuktikan, Soepriyadi sempat tinggal di rumah Kepala Desa Sumber Agung Kecamatan Gandusari. Hal itu berdasarkan kesaksian beberapa orang termasuk kepala desanya (Harjo Miyarso) saat Tim Sejarah ABRI melakukan penelusuran pada tahun 1960-an. Namun, informasi selanjutnya mengenai keberadaan Soepriyadi hingga kini masih menyisakan misteri.
Adik Soepriyadi bernama Suroto yang pernah diwawancarai media pada Agustus 2018 meyakini kakanya gugur ditangan tentara Jepang.
"Kakak saya pejuang sejati. Ketika dia pamit kepada bapak mau berontak, bapak pesan begini. Berani angkat senjata, berarti kamu harus berani mati dalam kondisi apa saja," ujar Suroto.
Suroto dan keluarganya meyakini Soepriyadi meninggal dalam penanganan khusus pihak Jepang. Walaupun mereka tidak tahu dimana dan kapan Soepriyadi dieksekusi. Sikap sang bapak yang tidak berusaha mencari tahu keberadaan anaknya, menjadi pegangan keluarga untuk bertahan dalam diam.
Suroto yang saat pemberontakan itu masih berusia 9 tahun menceritakan, pasca pemberontakan itu ayahnya, Darmadi ditangkap dibawa Tentara Jepang dan dibawa ke Kampetai Kediri.
“Bapak dipenjara sampai Indonesia merdeka. Setelah itu bapak menjabat sebagai Bupati Blitar. Tapi beliau tetap diam, tidak berusaha mencari anaknya. Beliau hanya bilang, kita punya adat
mikul dhuwur mendem jero," kata Suroto.
Selang 30 tahun kemudian, tepatnya 9 Agustus 1975, pemerintah menyematkan gelar pahlawan nasional kepada Soepriyadi atas jasa-jasanya selama masa kemerdekaan. Gelar itu diberikan berdasarkan Keputusan Presiden No. 063/TK/1975 yang ditanda tangani Presiden Soeharto.