SABTU siang, 28 Maret 1981. Cuaca Ambon, Maluku, cukup terik. Jenderal M. Jusuf, Menteri Pertahanan dan Keamanan, dan Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani, Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan sedang menikmati makan siang.
Saat itu mereka tengah berada dalam Rapat Pimpinan ABRI. Mereka belum selesai makan ketika datang telegram dari Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), Jenderal Sudomo. Keduanya membaca telegram tersebut. Benny Moerdani, panggilan Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani, lantas memerintahkan para wartawan segera berkumpul.
“Saya diinstruksikan oleh Menhankam untuk memberitahukan, bahwa hari ini, tanggal 28 Maret 1981, pukul 10.10 WIB telah terjadi pembajakan Pesawat DC-9 Garuda dalam penerbangan antara Palembang dan Medan. Pesawat itu pada saat ini berada di Pelabuhan Udara Internasional Penang, Malaysia. Captain pilot-nya bernama Herman Rante. Soal ini sekarang diambil alih oleh Departemen Hankam,†kata Benny di depan wartawan.
Suaranya tenang, tetapi raut mukanya mengeras. Matanya nyalang.
Benny bersicepat ke Jakarta. Begitu tiba di Halim Perdanakusuma, Benny disambut tangan kanannya, Kolonel Teddy Rusdy. Sejak itu, Teddy tak pernah lepas dari samping Benny Moerdani. Sambil berjalan, Teddy melaporkan bahwa dia sudah menyiapkan pesawat yang sama dengan Pesawat DC-9 Garuda, yang dikenal dengan Pesawat Woyla, untuk dijadikan latihan tim penyelamat.
Dia juga telah meminta agar pemerintah Malaysia melarang pesawat Woyla keluar dari Malaysia, namun ternyata Malaysia tak bisa menahannya. Pesawat Woyla sudah mendarat di Bangkok, Thailand. Selain itu, Teddy juga menyusun informasi dari berbagai sumber untuk menjadi dasar keputusan bagi Benny Moerdani.
Teddy menyiapkan semua kebutuhan Benny, mulai dari logistik sampai strategi. Bahkan, ketika operasi militer pembebasan Pesawat Woyla tersebut dilakukan dan mengharuskan kontak senjata, Teddy senantiasa setia menemani atasannya tersebut. Dan itu terjadi pada Selasa, 31 Maret 1981, di Bangkok, Thailand. Setelah mengamati kondisi pesawat Woyla, pada Selasa dini hari itu, Benny meminta secarik kertas dari Teddy dan menulis pesan, “
Dear Pak Yoga, from now on, the show is mine! LBM.â€
Teddy berlari dan menyampaikan kertas itu kepada Jenderal Yoga, Kepala Badan Koordinasi Intelejen, yang berada di Pusat Pengendalian Krisis, sekira 400 meter dari lokasi Benny. Benny segera bergerak begitu Teddy membawa balasan dari Yoga, “Ok Ben. Sukses.â€
Beberapa menit kemudian kita tahu akhir kisahnya: Dengan riang, Yoga mengumpat kepada Benny, “
Diancuk. Ning endi kowe? (Sialan, kamu di mana?)â€
“Di pesawat, Pak. Sudah selesai semua. Beres,†kata Benny lewat mik yang dipancarkan dari kokpit pesawat Woyla. Teddy-lah yang memastikan kelistrikan pesawat itu berfungsi ketika Benny hendak mengontak Yoga.
Dunia kemudian mencatat keberhasilan operasi ini dan disamakan dengan operasi militer Israel dan Jerman yang juga berhasil menyelamatkan kasus serupa. The Asian Wall Street Journal mencatat, “
From hijack to the last gunshot, the entire operation lasted about 60 hours. It required a high degree of organisation and planning. It also required courage, efficiency and discipline.â€
Keberhasilan Operasi Woyla ini mengerek kepopuleran Benny Moerdani. Tetapi, dia tidak lupa untuk membawa serta stafnya yang paling setia untuk ikut naik: Teddy Rusdy.
Mewarisi Darah PejuangLahir di bilangan Tanah Abang, Jakarta pada 11 Mei 1939, Teddy Rusdy merupakan putra dari Hayuni Mathamin dan Nyi Mas Rodiah. Teddy kecil mengalami segala kesusahan ketika negeri ini masih di bawah kekuasaan Belanda, Jepang, sampai merdeka pada 17 Agustus 1945. Tetapi, di antara memori masa kecilnya yang paling kuat adalah ketika kakeknya dari pihak ibu, Haji Muhammad Zis pulang dari pengasingannya di Boven Digul. Yai Zis, begitu kakeknya dikenal, merupakan seorang aktivis Syarikat Islam di Banten dan dikirim ke Digul, Papua, pada 1929. Kakeknya pulang pada 1949, ketika Teddy berusia 10 tahun.
“Peristiwa itu saya ingat secara kental, sekaligus peristiwa itu menanamkan dan membentuk pribadi cinta tanah air pada diri saya,†kata Teddy.
Dalam kamus perjuangan Indonesia, mereka yang pernah dibuang ke Digul adalah mereka yang dihormati dan disegani. Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Sayuti Melik, adalah di antara nama pejuang yang pernah dikirim ke sana.
Dalam aspek perjuangan kemerdekaan, mereka menjadi teladan. Mereka mempertahankan keyakinan tentang kemerdekaan Indonesia dan memilih untuk dibuang daripada harus berkompromi. Kakek Teddy Rusdy termasuk dalam kelompok ini. Darah pejuang mengalir deras dalam tubuh Teddy. Maka itu, dia menghabiskan sekujur hidupnya untuk mengabdi kepada negerinya; tanah air yang dia cintai sepenuh hati.
Kakeknya adalah pejuang negeri ini, sebagai cucunya tentu dia tidak akan merusak perjuangan kakeknya tersebut. Dan memang, jalan hidupnya mengantarkannya untuk meneruskan perjuangan kakeknya tersebut dalam bidang yang lain. Militer dan intelijen.
Bintang SaktiThe future lies in the skies! -- "Mustafa Kamal AtaturkTeddy remaja yang gandrung terhadap membaca melumat banyak buku, seperti novel petualangan dan biografi para tokoh. Didorong imajinasi tokoh-tokoh dari buku yang dia baca, baik fiksi maupun nyata, Teddy remaja ingin menjadi seorang jagoan yang gagah, perkasa, dan cerdas. Dia terinspirasi Tom Sawyer, Robinson Crusoe, Winnetou, bahkan sampai Bung Tomo dan Mustafa Kamal Ataturk.
Untuk mewujudkan impiannya, Teddy Rusdy bergabung dengan Angkatan Udara sebagai calon navigator. Berkat akumulasi pengetahuan yang dia dapat dari buku-buku yang pernah dia baca Teddy lulus dengan mudah. Setelah itu dia mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan teknis penerbangannya di India, tepatnya di Air Force Flying College (India). Dia lulus pada 1961. Pangkatnya Letnan Muda Udara 1.
Kariernya terus merambat naik, meski kondisinya serba terbatas. Dia memulainya dengan gemilang ketika terlibat dalam Operasi Trikora di Maluku. Usianya masih 22 tahun saat itu. Dia dilibatkan karena satu-satunya yang terbaik di bidang navigasi dengan prosedur operasi radio-silent. Saat di India, Teddy belajar terbang
cross-country sejauh sekitar 1.500 mil tanpa peta. Dia berpanduan kepada posisi bulan dan bintang dan berbekal insting, analisis, dan tatapan matanya.
Mayor Jenderal Soeharto yang melihat potensi Teddy lantas menariknya ke Jakarta untuk bergabung dalam Operasi Mandala. Dalam Operasi Mandala, Teddy Rusdy adalah orang pertama Indonesia yang menerbangkan pesawat pembom strategis TU-16/KS, buatan Uni Soviet. Pada saat itu, hanya ada dua negara yang memiliki pesawat tersebut di luar Uni Soviet, yaitu Mesir di bawah kepemimpinan Presiden Gamal Abdul Nasser dan Indonesia di bawah Presiden Soekarno.
Operasi Mandala sukses dan memuluskan jalan bagi Jenderal Soeharto untuk terus menanjak karirnya. Begitu pun Teddy Rusdy. Dari Letnan Muda Udara 1 dia naik tingkat menjadi Letnan Udara II. Selain itu, dia mendapatkan penghargaan Bintang Sakti, tanda kehormatan yang diberikan kepada prajurit TNI dan warga sipil yang menunjukkan sifat-sifat keberanian dan kepahlawanan. Saat dia berusia 25 tahun. Pada masa-masa inilah dia menemukan kebenaran pernyataan Mustafa Kamal Ataturk, bahwa masa depan memang terletak di langit.
Dia menghabiskan waktu mudanya dengan memperdalam pengetahuan dan meluaskan jaringan. Juga, meningkatkan ketangkasan dalam bekerja. Tak aneh bila karirnya terus menanjak.
Karena pembawaannya cerdas, simpatik, dan mudah akrab dengan siapa saja Teddy mendapatkan tugas sosial, selain di bidang militer. Ketika bertugas sebagai Komandan Pangkalan Udara (Lanud) Rembiga, Mataram, Lombok Barat, pada 1972 dia dilantik sebagai Ketua DPD Golkar Lombok Barat. Setahun kemudian, 1973, karirnya di Golkar meningkat dengan diberi amanah menjadi Sekretaris DPD Golkar Provinsi NTB.
Nama dan sikapnya yang membuat banyak orang senang lantas mendorong mereka untuk mencalonkan Teddy sebagai Bupati Lombok Barat. Adalah Panglima KODAU IV, Marsekal Muda Suwoto Sukendar yang menyampaikan permintaan banyak orang tersebut.
Jika melihat struktur maka ini sebenarnya perintah dari atasan. Agak sulit bagi Teddy untuk mengelaknya. Tetapi, dia mengingat alasan utama dia menjadi perwira TNI AU. Selain mengabdi lewat jalur militer demi meneruskan perjuangan kakeknya, juga agar dia bisa mencapai marsekal, jenderal TNI-AU.
Kalau dia mengambil kesempatan menjadi bupati tentu itu pencapaian yang sangat prestisius. Usianya masih sangat muda, 35 tahun. Tetapi, dengan terpaksa dia tidak menerima tawaran tersebut dan memilih untuk mengikuti Pendidikan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara (Seskoau).
Kalau dia menerima tawaran menjadi bupati maka usianya 40 ketika selesai menjabat bupati. Usia itu terlalu tua untuk bisa mengikuti Pendidikan di Seskoau.
Sebagai gantinya, Teddy akan mencarikan orang yang cocok untuk mengisi tawaran tersebut. Beruntung, Marsekal Muda Suwoto Sukendar berkenan dengan usulan Teddy. Dia sendiri berhasil meraih cita-citanya dengan mendapatkan pangkat Marsekal Muda pada 1 Juni 1986. Yaitu ketika dia mendampingi Benny Moerdani sebagai Panglima ABRI dengan menjadi Asisten Perencanaan Umum (Asrenum). Itulah masa-masa Teddy turut membangun intelijen Indonesia dan membenahi lembaga ABRI bersama atasannya tersebut.
Mendampingi Benny Moerdani, Melunasi Tugas-tugas MusykilPerkenalan pertama Teddy dengan Benny Moerdani adalah ketika Teddy mengikuti kuliah dan ceramah perbekalan di Sesko ABRI pada 1974. Saat itu yang memberikan ceramah adalah Benny Moerdani, selaku Asisten Intelijen Kopkamtib.
Setelah ceramah, Teddy mengajukan Analisa terkait Peristiwa Malari. Teddy memang mengumpulkan semua materi dan informasi terkait Malari. Ternyata, Benny terkesan dengan analisa dan kesimpulan yang Teddy sampaikan. Benny meminta agar Teddy membantu tugas-tugasnya di bidang intelijen.
Sejak itulah, 20 tahun kemudian mereka bersama dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh negara kepada mereka, bahkan yang musykil sekalipun.
Seperti mengembalikan dana Pertamina yang dikorupsi di luar negeri dan membantu para pejuang mujahidin Taliban di Afghanistan. Semua tugas ini disampaikan langsung oleh Presiden Soeharto sendiri kepada Benny. Dan Benny mengandalkan Teddy untuk menyiapkan semua operasi ini, mulai dari aspek teknis sampai kepada strategis.
Teddy hadir untuk menyelesaikan masalah dan memudahkan atasannya dalam mengambil keputusan-keputusan strategis. Yang kesemuanya terbukti berhasil dan dituntaskan dengan baik.
Termasuk di antaranya adalah merombak lembaga ABRI, misalnya memotong anggaran ABRI, meningkatkan efisiensi ABRI, dan meningkatkan profesionalisme ABRI. Dalam perombakan ini Benny Moerdani dibantu Teddy menghapus struktur Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) yang dibentuk pada 1969 dan dinilai tidak berfungsi secara maksimal tetapi tetap mengambil anggaran.
Ini keputusan berani karena berarti membebastugaskan enam perwira tinggi bintang tiga dan belasan perwira tinggi bintang dua pada awal 1980-an.
Tetapi, Benny dan Teddy melakukan ini demi kepentingan negara. ABRI sering sekali kekurangan anggaran untuk pelatihan peningkatan kapasitas personal maupun kelembagaan ABRI sendiri. Meskipun menimbulkan ketidaknyamanan, toh mereka terus menjalankan keputusan tersebut.
Kinerja Teddy sebagai Asrenum Pangab mendapatkan sorotan dari para seniornya. Dia dinilai pantas menduduki Kepala Staf AU oleh para seniornya. Peristiwa itu terjadi pada Desember 1989. Dengan keberhasilan-keberhasilannya mendampingi Benny Moerdani Teddy dinilai berhasil mengharumkan kembali TNI-AU, dari yang sebelumnya pernah tercoreng karena rumor terlibat dalam pemberontakan 1965.
Tetapi, setelah diskusi dan merenungkan perjalanannya, Teddy memilih setia mendampingi Benny Moerdani sebagai Asrenum Pangab dan melepaskan kesempatan sebagai KASAU dan pangkat Marsekal, jenderal penuh TNI AU. Dia merasa kesetiaannya kepada sosok nasionalis dan patrioritis seperti Benny sudah lebih dari cukup.
Setelah mengantongi berbagai pengakuan atas pengabdiannya dari negara dan beberapa negara sahabat, Teddy Rusdy mengajukan pensiun dini pada 1992. Jabatan terakhirnya adalah Asrenum Pangab dan Anggota MPR dari Fraksi ABRI.
Karena berangkat dari niat tulus mengabdi kepada negara, meskipun pensiun pada usia produktif, 52 tahun, Teddy Rusdy tak pernah terkena gejala post power syndrome. Dia lantas menghabiskan waktunya untuk lebih dekat dengan keluarga, membangun dunia usaha dan mencurahkan pemikirannya dalam bidang militer dengan memberikan ceramah dan menulis.
Marsekal Muda (Purnawirawan) Teddy Rusdy meninggal dunia pada 1 Juni 2018. Dia meninggalkan jejak dalam dunia intelijen sebagai patriot yang menuntaskan berbagai masalah, melunasi perjuangan kakeknya, dan dimakamkan secara terhormat di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Muhammad HusnilPengkaji Sejarah