Secara geografis antara wilayah Sudan dengan Saudi Arabia tempat lahirnya Islam, hanya dibatasi oleh laut Merah yang sempit dan mudah disebrangi hanya dengan menggunakan kapal kayu tradisional.
Islam telah masuk ke wilayah ini sejak generasi pertama, dibawa oleh para sahabat Rasulullah. Kemudian secara bergelombang terus-menerus berlangsung, terutama pada tahun 650, 1312, dan 1504.
Pada tahun 1504 di wilayah Sudan bagian Utara telah berdiri Kesultanan Islam bernama Sennar yang juga dekenal dengan nama Funjistan. Tradisi sufi tumbuh subur dan berbagai tarekat muncul dan berkembang saat itu. Hal inilah yang menyebabkan bangsa Sudan sangat religius, halus, sekaligus santun.
Sementara di bagian Selatannya masih didominasi oleh penganut Animisme dan penganut Nasrani warisan Kerajaan Kristen di Ethiopia yang wilayahnya meliputi Eritrea, Somalia, Djibouti, dan sejumlah negara kecil di sekitarnya yang dalam tarikh Islam dikenal dengan nama Habasyah.
Negri Habasyah dipimpin oleh seorang raja yang sangat taat dan bijaksana bernama Najasyi, memberi perlindungan para sahabat Rasulullah saat harus berhijrah untuk menghindari kekejaman kaum kafir Quraish di Makkah.
Mesir memasukkan Sudan sebagai bagian dari wilayahnya saat dipimpin oleh Muhammad Ali pada 1820. Tahun 1881-1899 terjadi pemberontakan yang berjuang untuk membebaskan Sudan dari belenggu Mesir yang dipimpin oleh seorang tokoh sufi bernama Muhammad Ahmad bin Abd Allah yang mendeklarasikan diri sebagai Al Mahdi.
Perjuangan Al Mahdi berhasil mengalahkan tentara yang dikirim penguasa Mesir yang merupakan perpanjangan tangan Turki Usmani saat itu. Mereka kemudian juga berhasil mengalahkan kolonial Inggris yang berusaha menguasai wilayahnya.
Sayang setelah Al Mahdi wafat Kesultanan yang didirikannya tidak berhasil dipertahankan oleh penerusnya. Kolonial Inggris yang berkolaborasi dengan Mesir kemudian mengambilalih kendali wilayah ini.
Sudan baru merdeka dari Inggris dan Mesir pada 1 Januari 1956, dengan nama Republik Sudan. Sejak saat itu pemerintahan yang memilih sistem demokrasi tidak pernah stabil. Berkali-kali terjadi perang saudara dan kudeta oleh kelompok militer.
Gendral Omar Basyir naik tahta sebagai Presiden melalui kudeta tahun 1989 dengan cara menggulingkan pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sadiq al-Mahdi yang terpilih secara demokratis.
Pemerintahan otoritarian dan militeristik yang dipimpin Omar Basyir kemudian terperangkap dalam praktik korupsi dan represip dalam mengelola negara. Akibatnya muncul perlawanan baik secara militer maupun politik.
Secara militer para pemberontak tergabung dalam sejumlah organisasi berdasarkan semangat kedaerahan atau ideologi tertentu, seperti: Gerakkan Kebebasan Rakyat Utara (SPLM-N), Fron Revolusi Sudan (SRF), Pasukan Pembebasan Sudan (SLA), serta Gerakkan Persamaan dan Keadilan (Jem).
Pemerintahan di Khartoum kemudian menggunakan tentara organik dan milisia Islam untuk meredamnya. Hal ini mengakibatkan perang saudara berkepanjangan yang menelan korban sangat besar, baik yang meninggal maupun yang harus mengungsi meninggalkan tempat tinggalnya.
Sudan Selatan yang mayoritas penduduknya menganut Animisme, Kepercayaan Lokal, dan Nasrani memutuskan untuk memisahkan diri dan membentuk pemerintahan sendiri pada tahun 2011. Sementara pemberontakan di wilayah Darfur dan sejumlah tempat sampai sekarang masih belum bisa diselesaikan.
Perjuangan politik berbagai kelompok pro-demokrasi di ibukota Khartoum akhirnya berhasil menumbangkan rezim Omar Basyir, kemudian membentuk pemerintahan transisi yang diisi perwakilan kelompok sipil pro-demokrasi dan kelompok militer.
Presiden dijabat oleh Genderal Abdullah Fatah al-Burhan yang mewakili kelompok militer, dan Perdana Menteri dijabat oleh Abdalla Hamdok yang merupakan perwakilan kelompok sipil pro-demokrasi.
Pemerintahan Omar Basyir yang berkuasa selama 30 tahun (1989-2019) telah menimbulkan gejolak politik berkepanjangan, terpuruknya ekonomi, meninggalkan beban utang negara yang sangat besar, tertinggal dalam kualitas sumber daya manusia, dan rendahnya kualitas pendidikan.
Embargo yang diterapkan oleh Amerika dan negara-negara Barat dengan tuduhan pelanggaran HAM dan mendukung terorisme, membuat para pemimpin Sudan tidak leluasa bergerak dan membuat penderitaan rakyatnya semakin parah.
Kini Sudan termasuk kategori negara Arab dan negara Muslim yang miskin, dengan pendapatan perkapita di bawah US $ 1.000. Berarti hanya sekitar seperempat dari pendapatan perkapita penduduk Indonesia.
Untuk mempertahankan kekuasaannya Omar Basyir berusaha menggunakan jubah Islam, dan menggunakan narasi Islam untuk mendapatkan dukungan komunitas Muslim yang menjadi mayoritas pendukungnya.
Omar Basyir dapat dikatakan telah menarik Sudan sangat ke Kanan, bahkan sampai menyebut negaranya sebagai negara Islam. Kini setelah rezim Omar Basyir tumbang, bandul ditarik ke arah berlawanan oleh Pemerintahan Transisi, yakni ke Kiri dengan menyebut Sudan kini menjadi Negara Sekuler, sebagai upaya untuk menemukan keseimbangan baru.
Indonesia sejak dideklarasikan sebagai negara merdeka tahun 1945, sebenarnya juga mengalami tantangan yang serupa, akan tetapi tidak separah yang dialami Sudan.
Indonesia termasuk beruntung, karena meskipun Ideologi Pancasila sempat ditarik-tarik ke Kiri ataupun ke Kanan, akan tetapi berhasil dipertahankan sebagaimana jati dirinya semula.
Bagi rakyat Indonesia, Ideologi Pancasila merupakan titik kompromi yang telah mengakomodasi aspirasi kelompok Nasionalis Religius dan Nasionalis Sekuler, yang merupakan dua kelompok politik terbesar, disamping juga mengakomodasi aspirasi penganut agama minoritas maupun berbagai etnis dan suku yang berbeda.
Bagi umat Islam Indonesia, inilah Islam yang "Rahmatanlilalamin", Islam yang memayungi kepentingan umat Islam dalam berbangsa dan bernegara, dan pada saat bersamaan tetap memberikan ruang yang memadai bagi kebebasan semua agama untuk tetap hidup. Begitu juga berbagai etnis dan suku yang ada tetap leluasa mengembangkan tradisi dan budayanya, serta kearifan lokal yang dimilikinya.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.
BERITA TERKAIT: