Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mengevaluasi Negara Dalam Pengembangan SDM

Sabtu, 03 Oktober 2020, 18:12 WIB
Mengevaluasi Negara Dalam Pengembangan SDM
Ilustrasi
SAAT ini, Indonesia sedang berada di puncak bonus demografi. Menurut Sensus Penduduk Antar Sensus (Supas 2015) jumlah penduduk Indonesia diprediksi 269,6 juta jiwa pada 2020 dengan jumlah usia produktif (15-64 tahun) 185,34 juta jiwa. Dan Jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan terus bertambah menjadi 318,96 juta pada 2045.

Artinya, tahun ini, jumlah usia produktif di Indonesia lebih banyak dari yang tidak. Kondisi ini ibarat dua sisi mata uang. Satu sisi bisa menjadi keuntungan, bila bonus demografi itu dibarengi dengan kualitas sumber daya manusianya (SDM) yang mumpuni. Sebaliknya, jika kualitas SDM rendah atau buruk, maka ia justru menjadi bencana baru.

Untuk menjadikan bonus demografi tersebut sebagai keuntungan, maka pengembangan SDM menjadi keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Pengembangan SDM berkualitas bisa tercapai bila pendidikan yang diperoleh oleh masyarakat juga memadai. Karena itu, kemajuan SDM hanya akan bisa dicapai bila pendidikan yang diterima rakyat berkualitas dan mudah diakses.

SDM unggul dan dilema pendidikan

Pada pidato kenegaraan bersama DPD-DPR RI di Gedung Nusantara 16 Agustus 2019 tahun lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan SDM unggul yang cinta kepada negara.

Ia berkata, “Kita butuh SDM unggul yang berhati Indonesia, berideologi Pancasila. Kita butuh SDM unggul yang toleran yang berakhlak mulia. Kita butuh SDM unggul yang terus belajar bekerja keras, berdedikasi”.

Apa yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo di atas sesungguhnya adalah apa yang telah diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31. Bahkan dalam Pembukaan UUD 1945 sendiri “mencerdaskan kehidupan bangsa” adalah kewajiban negara melalui pemerintah untuk mencerdaskan rakyatnya.

Di Undang Undang Dasar 1945 Pasal 31 disebutkan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban memberikan akses pendidikan (setidak-tidaknya pendidikan dasar) gratis bagi warganya. Bahkan undang-undang tersebut mengamanatkan agar alokasi dana pendidikan sebesar 20 persen, baik alokasi melalui intervensi anggaran Pemerintah Pusat yaitu Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Amanat undang-undang tersebut sebagian telah dijalankan oleh pemerintah, seperti pemerintah telah menetapkan wajib belajar 12 tahun dengan memberikan pendidikan gratis di sekolah-sekolah negeri dan menetapkan anggaran 20 persen dari APBN untuk biaya pendidikan, meliputi biaya guru, fasilitas, beasiswa, dll.

Namun, meskipun sebagian amanat undang-undang tersebut telah dilaksanakan, hak masyarakat di sebagian pelosok negeri, khususnya bagian terdepan, terluar dan tertinggal untuk memperoleh pendidikan gratis dan berkualitas masih terganjal oleh jarak sekolah yang jauh, fasilitas sekolah yang minim, dan guru yang terbatas.

Terlebih, di masa pandemi saat ini. Pemerintah melalui kemendikbud memerintahkan pendidikan dilaksanakan di rumah via daring. Pendidikan normal baru ini mengharuskan siswa untuk belajar dan bertatap muka secara daring. Karena itu, setiap siswa diharuskan memiliki fasilitas seperti, internet dan perangkat komunikasi lainnya (laptop atau handphone android).

Meskipun pemerintah telah menetapkan kebijakan kuota gratis, tampaknya kuota gratis tersebut hanya bisa dinikmati oleh sebagian golongan saja. Bahkan, pendidikan via daring ini hanya bisa dinikmati oleh sebagian kelompok yang memiliki kekuatan finansial dan fasilitas internet yang bagus.

Padahal, banyak wilayah Indonesia yang tidak memiliki fasilitas internet dan bahkan sinyal pun tidak ada. Alih-alih bisa melaksanakan pendidikan normal baru, mereka justru tidak memiliki handphone atau laptop karena biaya yang mahal dan sinyal internet yang tidak ada.

Tidak hanya soal ketimpangan pendidikan, pendidikan gratis yang hanya diberikan sampai pada level sekolah menengah atas telah memupus harapan sebagian besar anak-anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan berkualitas sampai ke jenjang perguruan tinggi, di mana biayanya justru sangat mahal.

Kampus negeri yang kian mahal

Salah satu kewajiban negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu, syarat mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan memberikan pendidikan berkualitas dan terjangkau untuk setiap warga negara tanpa terkecuali.

Apa yang diinginkan oleh Presiden Joko Widodo tentang SDM unggul hanya akan menjadi pepesan kosong, jika akses pendidikan hanya bisa dinikmati oleh sebagian orang saja dan terbatas hanya sampai level Sekolah Menengah Atas.

Padahal, syarat untuk mendapatkan SDM unggul adalah dengan memberikan akses pendidikan kepada warganya seluas dan setinggi mungkin. Dalam konteks ini, tidak hanya cukup sampai SMA, tapi setidaknya sampai strata pertama perguruan tinggi.

Hanya saja, meski anggaran pendidikan telah ditetapkan sebesar 20 persen dari APBN negara, biaya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, khususnya kampus negeri sangatlah sulit dan sangat mahal. Bahkan, perguruan tinggi negeri di Indonesia, yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara, menetapkan beban biaya pendidikan yang jauh lebih mahal dari swasta.

Terlebih dalam situasi pandemi seperti ini, mahasiswa tetap diwajibkan berkuliah secara daring dan membayar biaya kuliah sebagaimana biasanya. Padahal, dalam kondisi pandemi seperti ini, banyak orang tua mahasiswa yang kesulitan dalam ekonomi, bahkan sebagian kehilangan pekerjaan karena PHK. Hal ini sangatlah tidak adil dan memberatkan mahasiswa (orang tua mahasiswa).

Mahasiswa dipaksa membayar biaya kuliah secara normal, padahal mereka tidak
menggunakan fasilitas kampus dan justru harus menambah biaya untuk membeli kuota internet agar bisa kuliah daring.

Tidak adanya kebijakan konkrit dari pemerintah berskala nasional tentang pemotongan biaya kuliah selama pandemi adalah sikap abai pemerintah terhadap rakyatnya. Kalaupun ada, hal itu tidak berlaku secara nasional, tetapi hanya berlaku skala lokal sesuai kebijakan kampus masing-masing. Karena itu, kebijakan secara nasional dari pemerintah pusat tentang pemotongan biaya kuliah selama pandemi harus dilakukan.

Kuliah gratis

Per 2019 tahun lalu, jumlah mahasiswa di Indonesia sekitar 7.3 juta jiwa. Jumlah ini merupakan mahasiswa yang terdaftar di Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta masing-masing 2,9 juta dan 4,4 juta. Meski jumlah tersebut naik 5,01 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya, tapi jumlah tersebut masih jauh dari jumlah usia pendidikan kita. Rata-rata usia mahasiswa untuk pendidikan S1 adalah 19-23 tahun dengan tingkat populasi 80-107 juta jiwa, maka dengan jumlah 7.5 juta yang mendapatkan akses pendidikan masih jauh panggang daripada api. Apalagi jika biayanya sangat mahal, amat mustahil untuk mendapatkan SDM yang unggul dalam jumlah yang banyak.

Padahal jika dari 20 persen APBN yang jumlahnya sekitar 2.233.2  triliun, maka alokasi untuk biaya pendidikan berarti sekitar 446.64 triliun dari APBN. Dengan anggaran sebesar itu, mestinya pemerintah bisa memberikan pendidikan gratis tidak hanya sampai SMA tapi juga sampai perguruan tinggi. Misalnya, pemerintah bisa menetapkan 100 kampus negeri gratis di seluruh Indonesia sebagai langkah awal untuk uji coba pemberian kuliah gratis di level perguruan tinggi.

Memang, dari 20 persen anggaran pendidikan, biaya tersebut dialokasikan ke berbagai sektor pendidikan, salah satunya untuk pemberian beasiswa. Namun, akses terhadap biasiswa sangatlah tidak mudah, terutama bagi masyarakat yang jauh dari pusat pemerintahan, khususnya daerah terpencil, terluar, dan terdepan.

Di samping itu, wilayah-wilayah terpencil dengan akses teknologi informasi terbatas menyebabkan beasiswa tidak sepenuhnya bisa dinikmati oleh setiap warga negara secara mudah dan gampang. Akibatnya, beasiswa seringkali hanya dimonopoli oleh sebagian orang, dan bahkan memungkinkan terjadinya praktik nepotisme.

Tidak hanya itu, untuk mendapatkan beasiswa, persyaratan yang dibuat seringkali menyebabkan warga negara kehilangan asanya untuk kuliah. Misalnya, ia harus melengkapi berkas lulus TOEFL atau IELTS untuk lulus beasiswa. Padahal, untuk lulus TOEFL dan IELTS mereka harus membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak kecil untuk mendapatkannya.

Oleh karena itu, pemberian beasiswa mestinya dibarengi dengan pemberian fasilitas yang memadai, seperti penyediaan fasilitas informasi yang unggul di daerah-daerah terpencil, menyediakan pelatihan-pelatihan gratis untuk memenuhi persyaratan-persyaratan mendapatkan beasiswa kuliah (TOEFL atau IELTS), dll.

Dengan demikian, “SDM Unggul, Indonesia Maju” yang dicanangkan Presiden Joko Widodo akan menjadi absurd dan tidak jelas jika setiap warga negara harus membayar mahal untuk kuliahnya. Bagaimana bisa kampus negeri jauh lebih mahal dibandingkan kampus swasta. Dalam konteks ini, seharusnya negara memberikan kuliah gratis, khususnya di kampus negeri, sebagaimana amanat UUD 1945 yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa” Hanya dengan itu, SDM unggul bisa diwujudkan. rmol news logo article

Muhammad Ainul Yakin Simatupang
Direktur Studi Kebijakan Publik Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA