PADA Jumat malam, 10 Agustus 1945, Sutan Sjahrir-tokoh pejuang kemerdekaan, menyalakan radio berwarna gelap kesayangannya. Radio itu kerap disembunyikan di kamar tidurnya dan hanya digunakan di waktu tertentu saja.
Pada masa itu, Indonesia berada dalam pendudukan Jepang. Peredaran radio secara bebas dilarang. Jepang hanya mengijinkan radio-radio yang sudah tersegel untuk dimiliki dan digunakan penduduk.
Jepang memusatkan komando radio-radio di Indonesia di bawah pengawasan NHK (Nippon Hoso Kyokai). Siaran-siaran yang mengudara diawasi secara ketat, sementara siaran dari luar negeri diputus oleh pemerintahan Dai Nippon.
Radio milik Sutan Sjahrir itu adalah radio tak bersegel, alias ilegal. Dengan radio itu, Sjahrir kerap mencuri dengar informasi dari luar negeri. Rosihan Anwar dalam buku
Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya mengungkapkan, Sjahrir dapat menangkap siaran berita luar negeri yang tidak disiarkan Jepang dengan radio tersebut.
Sjahrir juga kerap menguping siaran dari radio Brisbane yang dipancarkan Pemerintah Hindia Belanda dalam pembuangan di Australia. Dari siaran itu, Sjahrir bahkan mendengarkan informasi tentang teman-temannya di daerah pembuangan. Rosihan menyebut, aktivitas Sjahrir itu semacam “bernapas di bawah tanah†alias
underground.
Pada malam itu, ketika menguping sebuah stasiun radio milik Sekutu, Sjahrir mendengar berita yang mengejutkan. Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Dua bom atom yang dijatuhkan tentara AS di kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945, membuat Jepang takluk.
Bagi Sjahrir, ini adalah kabar baik bagi pejuang kemerdekaan. Ia merasa, inilah momentum yang tepat untuk memproklamirkan kemerdekaan RI. Dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu, terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia.
Artinya, tidak ada pemerintahan yang berkuasa di Indonesia. Jepang telah kalah dan Sekutu-sang pemenang perang, belum menggantikan kedudukan Jepang di Indonesia.
Sjahrir mengutus orang kepercayaannya untuk menyampaikan kabar kekalahan Jepang tersebut kepada Muhammad Hatta. Tapi, Hatta tengah berada di Dalat Vietnam, bersama Soekarno. Keduanya memenuhi panggilan Jenderal Terauchi, panglima tentara Jepang di kawasan Asia Tenggara. Di Dalat, mereka mendapatkan janji bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia.
Pada saat Soekarno dan Hatta kembali dari Dalat, Sjahrir langsung menyampaikan kabar yang dia dengar di radio kepada Hatta. Ia hendak memberi peringatan kepada Hatta dan Soekarno agar melupakan janji Jepang. Sebab pada saat itu sebetulnya Jepang sudah kalah perang dan menyerah kepada Sekutu. Sjahrir ingin Soekarno dan Hatta segera menyatakan kemerdekaan tanpa embel-embel Jepang.
Selain kepada Hattta, Sjahrir juga menghubungi penyair Chairil Anwar yang kemudian meneruskan berita tersebut kepada para tokoh pemuda pergerakan terutama para pendukung Sjahrir. Para pemuda pejuang ini sepakat situasi saat ini merupakan kesempatan baik bagi bangsa Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaan.
Sejak masa pendudukan Jepang, Sjahrir dan para pemuda pejuang lainnya menggalang gerakan bawah tanah untuk mempersiapkan kemerdekaan tanpa bekerja sama dengan Jepang. Para pejuang bawah tanah ini didominasi golongan muda.
Mereka mendesak Soekarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus 1945. Namun, Soekarno dan Hatta menolak rencana tersebut. Keduanya tetap
bersikukuh akan mengumumkan kemerdekaan pada 24 September 1945, sebagaimana ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk Jepang.
Hatta menyatakan, kemerdekan Indonesia datangnya dari Pemerintah Jepang atau dari hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri tidaklah menjadi soal karena Jepang sudah kalah.
“Kini, kita menghadapi sekutu yang berusaha akan mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, diperlukan suatu revolusi yang terorganisasi,†kata Hatta.
Soekarno dan Hatta ingin memperbincangkan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan dalam rapat PPKI sehingga tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang. Sebab Pemerintah Jepang sudah menetapkan waktu berkumpulnya para anggota PPKI sehari setelah pembentukan PPKI.
Namun, golongan muda tidak setuju dengan pembentukan PPKI yang dianggap sebagai badan atau organisasi bentukan Jepang yang tunduk dan patuh pada keinginan Jepang. Mereka juga tidak menyetujui pelaksanaan proklamasi kemerdekaan seperti telah digariskan Jenderal Terauchi dalam pertemuan di Dalat, Vietnam.
Golongan pemuda gerakan bawah tanah menghendaki proklamasi dilaksanakan dengan kekuatan sendiri, lepas sama sekali dari pengaruh Jepang.
Buku Riwajat Perdjuangan Sekitar Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945 karya Adam Malik menceritakan pertemuan Sjahrir dan Hatta pada 15 Agustus 1945. Sjahrir kembali mendesak Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanpa perlu menunggu Jepang memenuhi janji.
Namun, Soekarno dan Hatta tetap ingin memastikan kebenaran berita tentang penyerahan tanpa syarat (kapitulasi) Jepang terhadap sekutu. Keduanya juga tetap ingin membicarakan tahapan proklamasi dalam rapat PPKI.
Penolakan Soekarno-Hatta itu membuat kecewa para pemuda pejuang tersebut. Takut kehilangan momentum, mereka akhirnya memutuskan untuk mengasingkan Soekarno dan Hatta dari pengaruh Jepang. Para pemuda khawatir bila menunggu terlalu lama, Belanda akan kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu yang memenangi PD II.
Sekelompok pemuda antara lain, Soekarni, Wikana, AM Hanafi dan Chaerul Saleh dari perkumpulan Menteng 31 menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agsutus 1945 tengah malam.
Sekitar pukul 03.00 WIB dini hari, kedua tokoh ini dibawa ke Rengasdengklok, kota kecil di Karawang, Provinsi Jawa Barat. Di Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta kembali didesak untuk memproglamirkan Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1945. Namun Soekarno dan Hatta kukuh menolak.
Setelah Ahmad Subarjo datang dan memastikan bahwa Kemerdekaan Indonesia akan dilaksanakan tanggal 17 Agustus 1945, maka para pemuda bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta beserta rombongannya untuk kembali ke Jakarta.
Akhirnya, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat, yang saat ini dinamakan Jalan Proklamasi. Tempat ini merupakan kediaman Soekarno. Proklamasi ini disusun dan dibacakan oleh Soekarno dan Hatta yang menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara yang merdeka.
BERITA TERKAIT: