Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sejarah Dan Perkembangan Pilkada Di Indonesia

Kamis, 24 September 2020, 02:53 WIB
Sejarah Dan Perkembangan Pilkada Di Indonesia
Ilustrasi Pemilu/Net
PILKADA serentak 2020 menjadi perhatian khusus karena akan diselenggarakan di tengah pandemi covid 19. Dalam pemberitaan di media massa, tidak sedikit penyelenggara Pemilu, baik KPU maupun Bawaslu yang terkonfirmasi positif Covid-19.

Tidak sedikit pula kalangan dari pemerhati dan pegiat pemilu bahkan NU yang kemudian menyuarakan agar Pilkada serentak 2020 ditunda, demi kemaslahatan bersama.

Mungkinkah Pilkada serentak 2020 ditunda? Berdasarkan Perppu 2/2020 yang mengatur penjadwalan Pilkada serentak 2020, hal itu sangat dimungkinkan.

Bagaimana selanjutnya? Akan diteruskan pada tahapan berikutnya dari tahapan yang sudah berjalan sesuai dengan kesepakatan antara penyelenggara Pemilu, pemerintah dan DPR.

Misalnya, tahapan akan terus dilanjutkan hingga penetapan pasangan calon dan selanjutnya ditunda. Maka pelaksanaan selanjutnya akan diteruskan pada tahapan kampanye, pemungutan suara, hingga penetapan calon terpilih.

Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) 5/2020, 23 September 2020 akan ditetapkan pasangan calon Pilkada, keesokan harinya akan dilakukan pengundian nomor urut pasangan calon. Tentu tahapan pengundian nomor urut akan tidak ada pada daerah pemilihan yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon.

Apakah jika hanya ada satu pasangan calon maka yang bersangkutan akan dengan serta merta menjadi pemimpin di daerah tersebut? Tidak. Dalam mekanisme yang diatur dalam UU, yang bersangkutan akan “melawan kotak kosong”.

Sejak penutupan pendaftaran pada 6 September 2020 lalu, perkembangan informasi dan pemberitaan di media massa, dari 270 daerah yang menyelenggarakan Pilkada, setidaknya ada 27 daerah yang berpotensi hanya diikuti satu pasangan calon. Bagaimana jika kotak kosong yang menang?

Pada UU Pilkada pasal 54D dijelaskan bahwa, pasangan calon tunggal yang kalah boleh mencalonkan kembali pada pemilihan berikutnya yang diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam hal belum ada pasangan calon terpilih terhadap hasil Pemilihan, Pemerintah menugaskan penjabat Gubernur, penjabat Bupati, atau penjabat Walikota. Ini adalah perkembangan terkini dari proses pemilihan dan suksesi kepemimpinan di daerah dengan skema otonomi daerah.

Tahukah anda? Bagaimana sejarah dan perkembangan Pilkada di negeri ini?

Era reformasi yang ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto dan diselenggarakannya Pemilu 1999, menjadi babak awal dalam sejarah perkembangan demokratisasi di negeri ini.

Ya, setelah hampir 32 tahun menganut sistem yang sentralistik, pada era reformasi awal (1999-2004), terjadi dinamika perubahan ketatanegaraan yang luar biasa, UUD’45 diamandemen. Bahkan hingga empat kali amandemen di tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002.

Dari hasil amandemen itu, MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara yang berwenang memilih, menetapkan dan melantik Presiden dan Wakil Presiden.

Konsekuensi logisnya kemudian adalah, lahir UU 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003 oleh Presiden Megawati. Sesuai amanah UUD hasil amandemen, Presiden dipilih secara langsung dalam pemilu.

Hal lain yang mendasar dalam amandemen tersebut adalah dorongan terselenggaranya desentralisasi, otonomi daerah. Bahkan, perdebatannya diawali dengan wacana mendorong Indonesia menjadi negara federal. Negara kesatuan dengan sistem otonomi daerah, desentralisasi, akhirnya menjadi solusi dan jalan keluar.

Jika kita klasifikasi pasal-pasal UUD hasil amandemen, ada beberapa catatan. Pertama pembatasan kekuasaan presiden. Semua pasal yang terkait dengan kekuasaan dan kewenangan presiden, dibatasi. Misalnya, membatasi masa jabatan presiden maksimal dua periode.

Lalu, untuk menunjuk duta dan konsul serta menerimanya dari negara lain, memberikan amnesti dan abolisi, membentuk UU, semua harus melalui pertimbangan dan persetujuan DPR. Sehingga ada pameo UUD hasil amandemen adalah legislatif heavy.

Kemudian, sistem pemerintahan daerah didorong pada wacana desentralisasi dan otonomi daerah yang berujung pada pilkada secara langsung.

Ini penting untuk dipahami, sejak awal dorongan disentralisasi sebagai pola dalam sistem NKRI pasca reformasi, segala yang terkait dengan pemerintahan daerah hingga bagaimana pemilihan kepala daerahnya, diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Hingga kemudian ada pemisahan UU yang khusus mengatur tentang Pemilihan Kepala Daerah diluar UU tentang Pemerintahan Daerah.

Awal dan Perkembangan Pengesahan UU Pilkada

Diawal reformasi, lahir UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang ditetapkan pada tanggal 7 Mei 1999.

UU ini mengatur pilkada oleh anggota DPRD. Kemudian, seiring dengan dinamika perdebatan UU 23/2003 tentang Pilpres yang akan dipilih secara langsung pada pemilu 2004, lahir UU 32/2004 yang mengatur tentang Pilkada yang juga akan dipilih secara langsung.

Pada UU 32/2004 ini, Pilkada dilaksanakan oleh KPUD. Calon kepala daerah didukung oleh partai politik dan gabungan partai politik. Apabila terjadi sengketa Pilkada, maka akan diproses oleh Mahkamah Agung dengan struktur di bawahnya.

Jika terjadi sengketa pada Pilkada Gubernur, oleh Pengadilan Tinggi dan jika terjadi sengketa pada Pilkada bupati/walikota, oleh Pengadilan Negeri setempat. Keputusan MA bersifat final dan mengikat.

UU 32/2004 ini disahkan dan diundangkan pada 15 Oktober 2004 oleh Presiden Megawati, 5 hari sebelum SBY dilantik sebagai Presiden. Ya, berdasarkan hasil pemilu yang diumumkan KPU pada 4 Oktober 2004, telah terpilih SBY sebagai Presiden hasil pemilu 2004, yang kemudian akan dilantik pada 20 Oktober 2004 dalam Sidang Paripurna MPR.

Pilkada secara langsung sesuai dengan UU 32/2004 ini terlaksana pertama kali pada tanggal 1 Juni 2005 dengan terpilihnya Prof. Dr. H. Syaukani Hasan Rais, MM sebagai Bupati Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur.

Selanjutnya, Lalu Ranggawale, dengan dasar adanya calon perseorangan yang diatur dalam otonomi khusus di Aceh dalam UU 11/2006 (UU Pemerintahan Aceh-UUPA), mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan uji materil UU 32/2004.

Dari uji materi itu, menghasilkan Keputusan MK No 5/PUU-V/2007 yang menganulir pasal-pasal dalam UU 32/2004 terkait pencalonan kepala daerah oleh partai politik dan gabungan partai politik. Putusan MK ini memberikan peluang kepada calon perseorangan (independen) untuk maju dalam Pilkada diseluruh wilayah NKRI.

Dalam artikel Manajemen Penyelenggaraan Pilkada, Husni Kamil Manik (KPU periode 2012-2017) menjelaskan, Pilkada tahun 2005 dengan dasar hukum UU 32/2004 menempatkan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga yang memegang mandat penuh (mulai dari perencanaan, penyusunan pedoman teknis hingga pelaksanaan setiap tahapan).

Tidak bertanggung jawab kepada KPU RI, tetapi bertanggung jawab kepada DPRD. Hingga kemudian berubah, setelah terbitnya UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, yang menegaskan bahwa KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota bersifat hierarkis.

Sejarah Pilkada berlanjut dengan terbitnya UU 12/2008 menggantikan UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah, 1 tahun setelah keputusan MK, pilkada 2008 dapat diikuti oleh calon perseorangan.

Bagaimana peluangnya? Di Garut terpilih pasangan Aceng–Dicky, di Rote Ndou–NTT, terpilih Christian N Dillak, SH-Zacharias P Manafe, juga O.K. Arya Zulkarnain dan Gong Martua Siregar menang dalam pemilihan bupati Batubara, Sumatera Utara dan di Aceh terpilih Irwandi Yusuf. Pilkada sesuai dengan UU 12/2008 terus berlanjut hingga tahun 2014. Sempat akan terhenti, tetapi berlanjut lagi. Apa maksudnya?

Tahukah anda? Jika di atas telah disinggung bahwa Pilkada secara langsung disahkan oleh Presiden Megawati pada tahun 2004 di penghujung masa pemerintahannya, maka pada tahun 2014 di penghujung pemerintahannya juga, Presiden SBY, pun melakukan hal yang sama.

Bedanya adalah, kebalikannya. Jika kita memahami proses di atas, dimana calon perorangan sudah bisa berkompetisi dalam pilkada.

Apa titik balik itu? Yaitu, ditetapkannya UU 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur bahwa Pilkada dilakukan oleh DPRD Provinsi dan DPRD Kab/kota. Diiringi dengan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menguatkan hal itu, pada saat yang sama, pada 30 September 2014 oleh Presiden SBY.

Padahal, berdasarkan keputusan KPU RI pada 22 Juli 2014, telah diumumkan Presiden terpilih Joko Widodo dan akan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014. Artinya, 20 hari sebelum Presiden Jokowi dilantik, UU ini disahkan.

Singkatnya, UU ini menjadi polemik dan mendapatkan banyak penolakan. Atas dasar bahwa telah menimbulkan persoalan serta kegentingan yang memaksa, sesuai Putusan MK No 138/PUU-VII/2009, maka lahirlah PERPU Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi UU pada tanggal 2 Oktober 2014 oleh Presiden SBY. Yang isinya mengembalikan proses Pilkada secara langsung.

Selanjutnya, lahir UU 1/2015 tentang Penetapan PERPPU 1/2014 menjadi UU yang disahkan pada 2 Februari 2015 oleh Presiden Joko Widodo. Hanya berselang satu bulan, seolah mengulang apa yang dilakukan Presiden SBY (atas UU 22 dan 23 tahun 2014), ditetapkan UU 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan UU 9/2015 tentang Pemerintahan Daerah yang keduanya disahkan pada tanggal 18 Maret 2015, mengatur dan menguatkan, bahwa pilkada dilaksanakan secara langsung.

Terakhir, jelang Pilkada serentak 2020, ada UU 10/2016 yang disahkan di Jakarta  pada tanggal 1 Juli 2016. Poin utama dari UU ini adalah pembagian waktu pilkada serentak pada tahun 2015, 2017, 2018 dan 2020. Hasil pemilihan 2015 akan dilaksanakan Pilkada pada 2020, hingga puncaknya, nanti akan dilaksanakan Pilkada serentak nasional pada tahun 2024.

Artinya, hasil Pilkada 2020 hanya akan menjabat selama 4 tahun, inilah tahapan yang hari ini sedang ramai menjadi perbincangan, karena pelaksanaannya di tengah pandemi covid-19. Sementara hasil pemilihan 2017 dan 2018 akan berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, sisa waktu menuju 2024 akan digantikan oleh penjabat Gubernur, Bupati dan Walikota.

Tentu kita semua berharap Pilkada serentak 2020 yang puncaknya akan dilakukan pemungutan suara pada 9 Desember 2020 akan berjalan dengan baik, aman dan lancar, sehingga tidak menjadi sejarah pilkada dengan catatan kelam.rmol news logo article


Munandar Nugraha
Penulis adalah Anggota Bawaslu Kota Jakarta Selatan

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA