Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Penanganan Covid-19 Dari Perspektif Penyuluhan Pembangunan

Jumat, 28 Agustus 2020, 10:39 WIB
Penanganan Covid-19 Dari Perspektif Penyuluhan Pembangunan
Ilustrasi/RMOL
GUNA menangani pandemi Covid-19 dan dampak-dampaknya, ekonom Faisal Basri baru-baru ini (26-08-2020) mengingatkan Pemerintah untuk tidak berfokus pada isu ekonomi semata.

Tampaknya Pemerintah perlu belajar dari penanganan penyakit di desa Los Molinas, Peru yang diangkat  Rogers dan  Shoemaker (1971) dalam bukunya “Communication of Innovations: A Cross-cultural Approach.”

Menurut keduanya, kampanye penyuluhan selama dua tahun yang mencoba mengajari penduduk memasak air, membakar sampah, membangun jamban, dan melaporkan kasus penyakit ke dinas kesehatan setempat itu menjadi contoh difusi inovasi yang gagal.

Difusi inovasi terkait penyakit/kesehatan memang tidak mudah, meski dalam tingkat wabah (belum menjadi epidemi dan pandemi).  Sebuah penelitian berskala terbatas mengenai penanganan wabah diare oleh sebuah dinas kesehatan kota di Jabar melalui program pembangunan jamban pernah Penulis lakukan 1991.

Pemasyarakatan penggunaan jamban ini gagal hanya gara-gara dinas tersebut abai dengan kebiasaan penduduk yang buang air besar di sungai di pagi hari yang sesungguhnya terkait dengan mata pencarian mayoritas penduduk desa sebagai tukang bangunan, yang saling berbagi informasi pekerjaan saat mereka melakukan itu di sungai.

Bila ditilik dari subjek kedua penelitian, seluruh subjek tidak meyakini adanya kuman penyakit.  Di Los Malinos, salah satu penyebab kegagalan difusi adalah kegagalan petugas kesehatan meyakinkan penduduk tentang keberadaan kuman yang hanya bisa dilihat di bawah mikroskop itu.

Menyangkut inovasi, ada dua kelompok besar inovasi. Pertama, inovasi rekayasa teknologi (IRT) berbagai perangkat keras.  Dalam kasus Covid-19, inovasi ini berupa pemakaian masker yang baik, jaga jarak, dan penghindaran diri berada di kerumunan atau tempat yang padat orang dalam durasi lama.

Kedua, IRT berbagai perangkat lunak. Inovasi ini mencakup pembentukan Satgas Penanganan Covid-19 dan rekayasa nilai-nilai pendukung penanganan Covid-19.  Nilai-nilai pendukung ini berkaitan dengan pembentukan nilai-nilai kejujuran (tidak manipulatif), kegotongroyongan (saling membantu sesama yang menderita dan tidak menjauhi yang pernah terkena), apresiasi pemerintah dan masyarakat atas jasa-jasa dokter/perawat dan tenaga pendukung lainnya, kedisiplinan dan kepatuhan pada protokol kesehatan demi pribadii, keluarga, dan sesama, dan nilai-nilai lain yang mendukung penanganan Covid-19 beserta dampak-dampaknya.

Kedua inovasi ini meliputi proses pengenalan Covid-19, sosialisasi, dan internalisasi semua nilai tersebut bagi individu dan masyarakat.

Tiga Koreksi

Dalam kasus Covid-19, Penulis memaknai difusi yang berhasil bila Pemerintah bisa membangun internalisasi nilai-nilai yang penting bagi penduduk yang membuat mereka bisa beradaptasi dengan baik pada kehidupan baru di masa pandemi dan pascapandemi.

Apa yang digaungkan Wage Rudolf Supratman melalui lagu “Indonesia Raya” menjadi relevan dalam menangani pandemi Covid-19.  Kita mesti memulainya dengan “membangun jiwa” (perangkat lunak), barulah kemudian “membangun badan” (perangkat keras).

Memakai masker sebagai bagian dari perangkat keras harus diperkenalkan dan disosialisasikan setelah membangun jiwa benar-benar tuntas.

Harus diingat, pemakaian masker mesti satu paket dengan jaga jarak dan membangun ketidakbetahan berada di kerumunan dan ruang tertutup/agak tertutup dalam durasi yang lama.  Koreksi pertama ialah pengenalan dan sosialisasi yang akan berujung pada internalisasi inovasi perangkat keras mesti merupakan paket utuh yang tidak sekadar menekankan pada pemakaian masker.

Bila bukan paket utuh, nasib pendisiplinan pemakaian masker akan sama dengan nasib pendisiplinan pemakaian helm/sabuk pengamaan yang hanya dipatuhi untuk menghindari sanksi.  Sampai kini tidak diketahui jumlah orang yang terkena Covid-19 akibat tidak pakai masker dan jumlah kematian akibat tidak pakai helm/sabuk pengaman.

Namun, bisa dipastikan, kecelakaan lalu-lintas luar biasa banyak akibat ketidaklayakan prasarana dan sarana transportasi, kebut-kebutan, tidak menjaga jarak aman kenderaan, dan ketidakpatuhan pada aturan lalu-lintas di luar pemakaian helm/sabuk pengaman.

Dalam hal Covid-19, ada banyak orang yang menyangka bahwa hampir semua orang yang terpapar Covid-19 terjadi karena abai memakai masker.

Mungkin karena menyadari virus ini bisa menembus masker karena demikian kecilnya dan menyaksikan sejumlah dokter dan tenaga medis yang tidak pernah abai memakai masker namun tetap terpapar dan meninggal akibat keganasan virus ini, membuat WHO pun tidak menganjurkan penggunaan masker sedari awal.

Koreksi kedua, mengedepankan peran Polri/TNI ketimbang tokoh-tokoh masyarakat (tokoh adat, ulama, cerdik-pandai) berarti kita “membangun badan” lebih dulu dari “membangun jiwa”.  Penulis hampir bisa memastikan pelibatan Polri/TNI ini hanya akan mengedepankan pendisiplinan pemakaian masker.  Harus diakui, “membangun jiwa” memang jauh lebih sulit dari “membangun badan”.

 â€œMembangun badan” dengan pendekatan ‘tiga sa’ pernah dianggap berhasil karena sempat membawa Indonesia berswasembada beras tahun 1984, meski ketika itu kita tetap mengimpor beras 414 ribu ton.  Melalui pendekatan ini petani “dipaksa” (“sa” pertama) menanam padi, membuat mereka “terpaksa” (“sa” kedua) menuruti anjuran pemerintah yang diikuti dengan pemberian benih, pupuk bersubsidi, dan bantuan modal, dan ini membuat mereka pada akhirnya “terbiasa” (“sa” ketiga).

“Membangun jiwa”, selain sulit, juga memakan waktu lama.  Namun bila kita berhasil, keberlanjutan adaptasi penduduk pada kenormalan baru, bukan hanya dalam menghadapi Covid-19, tetapi juga yang lain.  “Membangun jiwa dan badan” ini memakan waktu lama karena melibatkan tiga pilar: regulasi, norma, dan kognitif-kultural (Scott, 2008).

Pilar regulasi mencakup pengaturan peran pemerintah dan masyarakat, pembuatan aturan, pengawasan, pemberian sanksi, kapasitas penegakan aturan, pemberian imbalan dan hukuman melalui mekanisme informal (adat, kearifan lokal, agama) dan formal (polisi/tentara/aparat sipil), tindakan represif, dan pemberdayaan pelaku.

Pilar norma meliputi nilai dan norma itu sendiri.  Ini menghasilkan resep hidup baru di masa pandemi dan pascapandemi, evaluasi, tanggung jawab, dan cara-cara bertindak.  Pilar norma yang diintroduksi dan disosialisasikan dengan baik akan membuat masyarakat mengetahui sasaran, tujuan, dan cara menangani pandemi Covid-19, termasuk cara mengatasi kendala dan bahkan mampu memberdayakan aktor-aktor yang terlibat.

Pilar kognitif-kultural meliputi konsep bersama tentang adaptasi kebiasaan baru dalam ritus agama dan kebudayaan, pengendapan dan perwujudan makna kehidupan baru, proses interpretasi internal (dalam kebiasaan baru) yang dibentuk oleh kerangka budaya eksternal, dan pengetahuan kenormalan baru yang meski bersifat individual dan variatif, ia dibagi secara kolektif, yang berawal dan dimotori oleh tokoh-tokoh masyarakat.

Pada akhirnya, peran pemerintah yang direpresentasikan oleh pejabat publik yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat (tokoh agama, adat, dan cerdik-cendekia (pendidik/akademisi/budayawan) harus berangkat dari filosofi Ki Hajar Dewantara: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan").

Ini sekaligus merupakan koreksi ketiga mengingat pemerintah sejauh ini kurang melibatkan mereka secara optimal.  Melibatkan mereka membuat proses penyiapan masyarakat menginternalisasi kebiasaan baru menjadi mantap, terukur, dan berkelanjutan. rmol news logo article

Henrykus Sihaloho
Penulis lulusan doktor dari IPB, Bogor dan dosen Program Studi Agribisnis Universitas Katolik Santo Thomas

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA