Kemudian dalam perspektif pilihan sistem pemerintahan, kudeta bisa dilakukan dan diatur lewat jalur konstitusi, yakni adanya klausul pemakzulan atau impeachment.
Begitu urai peneliti Insititut Riset Indonesia (Insis) Dian Permata saat berbincang dengan
Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (7/6).
"Adanya klausul pemakzulan (impeachment). Umumnya, karena hilang kepercayaan dan kesabaran masyarakat terhadap rezim tertentu dalam mengelola tata negara. Bisa politik, ekonomi, hukum, dan lainnya. Ini tidak diharamkan. Jika diharamkan maka klausul tersebut harus dicabut," katanya.
Sehingga kata Dian, jika kedua perspektif dilakukan dan komunikasi yang dilakukan pemerintah terus menerus menjadi polemik, maka kemungkinan pemerintahan terguling secara sah akan besar terjadi.
"Itu dapat dilihat dari sengkarutnya komunikasi antar presiden dan menteri, dalam sejumlah kasus," jelas Dian.
Kasus yang dimaksud Dian adanya sengkarut komunikasi antara presiden dan menteri dapat dilihat dari penanganan pencegahan Covid-19.
Selain itu kata Dian, adanya teriakan reshuffle kabinet yang digaungkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga dapat mengusik ketenangan partai pendukung pemerintahan.
"Padahal mereka boleh dicap sebagai infanteri pemerintahan saat ini. Terutama untuk urusan menghalau isu negatif pemerintahan di media sosial," terang Dian.
Sehingga dikhawatirkan memicu faksionalisasi di antara partai pendukung. Mereka akan berhitung, siapa sudah dapat apa saja dari kue yang tersedia di pemerintahan dan siapa yang belum. Akibatnya, publik dapat melihat dengan mata telanjang soal kusutnya pola komunikasi politik di lingkaran pemerintahan saat ini," terang Dian.
Jika persoalan tersebut tidak mampu dikelola dengan baik, maka akan menjadi pintu pelaksanaan pemakzulan.
"Jika persoalan-persoalan di atas tidak mampu dikelola dengan baik maka akan menjadi salah satu pintu masuk pembahasan wacana pemakzulan di parlemen," pungkas Dian.
BERITA TERKAIT: