Pasalnya sanksi diberikan terhadap Poltracking Indonesia dinilai tanpa ada alasan objektif yang jelas terkait Survei Pilkada DKI Jakarta.
Demikian pandangan Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof. Karim Suryadi dalam keterangannya yang dikutip Jumat, 8 November 2024.
"Kalau Jakarta itu Poltracking beda jauh dari yang lain-lain dengan memenangkan Ridwan Kamil, itu sama kasusnya dengan Jawa Tengah di mana SMRC, Kompas, LKPI itu memenangkan Andika-Hendrar," kata Karim.
"SMRC dengan Litbang Kompas tipis, tapi LKPI itu menang jauh, tapi enggak diapa-apain," sambungnya.
Lebih lanjut, Karim mempertanyakan kredibilitas Dewan Etik Persepi.
Ia menyoroti kemungkinan adanya konflik kepentingan yang dapat mempengaruhi objektivitas keputusan karena Dewan Etik Persepi yang menjaga objektivitas sebagai wasit ternyata merangkap sebagai pemain, baik kepemilikan lembaga survei maupun konsultan.
"Yang menjadi pertanyaan saya bagaimana tingkat independensi dan objektifitas dewan etik. Apakah dewan etik keanggotannya itu terbebas dari kepentingan lembaga survei atau tidak," kata Karim.
Persepi menjatuhkan sanksi kepada Poltracking Indonesia karena perbedaan hasil survei elektabilitas tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta antara Poltracking Indonesia dan Lembaga Survei Indonesia (LSI).
Survei LSI menunjukkan elektabilitas Pramono Anung-Rano Karno tertinggi di Pilkada Jakarta 2024 dengan 41,6 persen. Disusul Ridwan Kamil-Suswono di posisi kedua dengan 37,4 persen dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana di posisi paling buncit dengan 6,6 persen.
Sementara itu, Poltracking Indonesia menyebutkan elektabilitas Ridwan Kamil-Suswono mencapai 51,6 persen.
RK-Suswono unggul dari paslon nomor urut tiga, Pramono Anung-Rano Karno di urutan kedua dengan elektabilitas sebesar 36,4 persen. Lalu di urutan ketiga ada paslon nomor urut 2, Dharma Pongrekun-Kun Wardhana dengan 3,9 persen.
BERITA TERKAIT: