Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Al Ghazali Dan Ibnu Rusyd, Mengapa Sering Dipertentangkan?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-muhammad-najib-5'>DR. MUHAMMAD NAJIB</a>
OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
  • Kamis, 30 April 2020, 18:56 WIB
Al Ghazali Dan Ibnu Rusyd, Mengapa Sering Dipertentangkan?
Dr. Muhammad Najib/Net
NAMA lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Al Ghazali Ath-Thusi Asy-Syafi'i, sering  juga disebut Imam Ghazali adalah seorang filosof (ahli ilmu kalam) dan teolog (ahli bidang akidah).

Imam Ghazali lahir di Tus, Khorasan, Iran, tahun 1058 Masehi.  Ia pernah menjabat Rektor di Madrasah Nizhamiyah yang berada di kota Baghdad. Madrasah ini merupakan salah satu perguruan tinggi paling bergengsi di zamannya.

Tahafut al-Falasifah merupakan satu dari empat seri buku teologi yang lahir semasa ia berada di Madrasah ini. Buku ini sebenarnya merupakan buku kedua, karena sebelumnya telah ditulis ringkasan pemikiran filsafat berjudul Maqāsid al-Falāsifa (Tujuan para Filsuf), yang diniatkan sebagai pengantar dari buku keduanya yang merupakan buku utama dari empat seri karyanya.

Karya ketiga, Miyar al-Ilm fi Fan al-Mantiq (Kriteria Pengetahuan dalam Ilmu Logika), ditujukan sebagai lampiran bagi Tahafut dan berisi rangkuman pengajaran Ilmu Kalam dari Ibnu Sina. Dan karya terakhirnya berjudul: Al Iqtisad Fi Al IÊ¿tiqad, merupakan penjelasan teologi Asy'ariyah yang menjadi sandarannya saat mengkritik teologi metafisika para filosof.

Serial ini menunjukkan bahwa Al Ghazali tidak menyangkal ilmu filsafat sebagaimana persepsi banyak ilmuwan. Ia tidak menentang cabang-cabang filsafat seperti: ilmu fisika, logika, astronomi atau matematika.

Ia hanya mengkritik para filosof pada cabang metafisika, disebabkan ketidak konsistenan  instrumen atau alat analisis yang digunakan. Dimensi spekulatif terasa sangat dominan dalam masalah ini, khususnya ketika memasuki dimensi yang sangat sulit bagi akal manusia.

Tampaknya Al Ghazali melihat wilayah ini sudah berada pada dimensi keimanan atau di luar wilayah logika yang menjadi porsi manusia.

Setelah tidak lagi menjabat, ia banyak mengembara ke Makkah, Madinah, Yerusalem, dan Mesir untuk bertemu para ulama untuk berdialog dalam rangka memperdalam ilmu dan memperluas wawasan fikirnya.

Ilmuwan terkenal lain yang hidup satu generasi sesudah Al Ghazali yang tidak kalah hebat adalah Ibnu Rusyd. Nama lengkapnya Abu Al Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Rusyd‎, lahir tahun 1126 M, di Cordoba, Andalusia  (Spanyol).

Ibnu Rusyd di Barat dikenal dengan Averroes, yang karyanya banyak sekali dipelajari oleh bangsa Eropa sampai abad pertengahan. Ia adalah seorang filosof yang menulis dalam berbagai bidang ilmu, seperti: filsafat, kedokteran, astronomi, fisika, fikih, teologi (akidah) dan linguistik.

Karya-karya filsafatnya termasuk banyak dalam bentuk tafsir dan ringkasan karya-karya Aristoteles. Banyak orang yang kesulitan memahami karya-karya Aristoteles, menjadi mudah faham dengan membaca karya Ibnu Rusyd.

Karya-karya Ibnu Rusyd sekaligus menjadi penyambung karya-karya Aristoteles yang hilang atau dilupakan bangsa Eropa karena berbagai faktor. Karena itu dirinya sangat dikagumi di Barat.

Ibnu Rusyd sebagian besar hidupnya dihabiskan di Istana, baik sebagai Hakim (Qadi) maupun dokter kerajaan. Sebagai seorang pemikir Muslimin, Ibnu Rusyd berusaha untuk menselaraskan antara akal dengan wahyu.

Salah satu karyanya yang menimbulkan kontroversi di kalangan para ilmuwan Islam sampai sekarang adalah Tahafutul Tahafut  (Kekacauan dari Kekacauan) yang merupakan respons atas karya Al Ghazali berjudul Tahafut Al Falasifah.

Ada sejumlah pelajaran penting yang bisa dipetik dari dua ilmuwan muslim yang hidup pada awal abad ke-11 dan ke-12 ini. Pertama, mereka sebenarnya hanya berbeda dalam satu hal, sementara dalam banyak hal mereka sama.

Jika para filsuf termasuk Ibnu Rusyd  berusaha meminjam instrumen filsafat yang dibangun oleh bangsa Yunani kuno,  untuk menjelaskan banyak hal terkait alam semesta,  Tuhan dan kehendakNya, maka Al Ghazali menunjukkan kelemahan intrumen filsafat bila memasuki wilayah metafisik.

Dalam bidang keilmuan yang terus berkembang sebagai bagian dari  proses mendekati kesempurnaannya, maka ilmuwan muslim yang lahir berikutnya seharusnya memberikan konstribusi untuk mendekatkan perbedaan yang ada. Karena demikianlah sejatinya kehidupan dunia ilmiah.

Kedua, dua ilmuwan ini memiliki kecenderungan yang berbeda. Al Ghazali lebih memilih mengembara untuk  memenuhi kehausan intelektual dan spiritualnya dengan hidup bersahaja.

Sementara Ibnu Rusyd secara turun-temurun hidup melayani tuntutan Kerajaan untuk memajukan negaranya sekaligus memakmurkan rakyatnya.

Bila dilihat dari perspektif positif, maka dua figur ini sebenarnya merupakan model yang komplementer satu dengan lainnya, yang dua-duanya memberikan konstribusi dalam kehidupan material maupun spiritual, untuk keperluan dunia maupun akhirat.

Sayang para ilmuwan Islam yang muncul sesudahnya sibuk dengan perbedaan, sampai-sampai Ibnu Rusyd dituduh membawa ajaran sesat, yang mengakibatkan Kerajaan setempat menghukumnya dengan cara bukan saja mencopot jabatannya, tapi juga dibuang ke pengasingan. Padahal di kemudian hari terbukti semua tuduhan itu sarat dengan motif politik.

Lalu terkait dengan pertentangan berkepanjangan yang  menguras energi ummat selama berabad-abad, sehingga mengakibatkannya tertinggal dalam banyak hal, adakah kepentingan pihak ketiga yang bermain politik devide et impera ? Wallahua'lam. rmol news logo article

Penulis adalah Pengamat Politik Islam dan Demokrasi

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA