Bila hendak memahami bangsa Mongol, maka harus dimulai dari cerita seorang anak ketua suku Kiyan, di Pegunungan Burhan Haldun, dekat sungai Onon dan Herlen, Mongolia, yang lahir pada 1162 M, bernama Temujin. Saat berusia 9 tahun, ayahnya diracun suku Tartar. Menjelang menemui ajalnya, sang ayah berpesan agar kelak Temujin membalaskan dendamnya.
Kehidupan Temujin dan keluarganya semakin menderita, karena hak dirinya menggantikan ayahnya sebagai kepala suku direbut. Lebih dari itu, dirinya dan keluarga diusir keluar dari sukunya karena dikhawatirkan akan menuntut haknya di kemudian hari. Temujin dan keluarga harus berjuang untuk bisa bertahan hidup dari ganasnya alam, ancaman hewan buas, ancaman suku lain, dan tentu ancaman kelaparan.
Dengan motifasi membalas dendam dan kemarahan pada banyak pihak, dirinya tumbuh-besar, kemudian berhasil mengalahkan semua suku di stepa yang sangat luas, kemudian mempersatukannya dengan tekad baru, yakni menaklukkan dunia. Sejak saat itulah ia mendapatkan gelar Jenghis Khan, yang berarti sang pemimpin semesta atau raja diraja.
Ekspidisinya ke luar Mongol dimulai dengan menyerang China yang menjadi tetangganya di Selatan, kemudian bergerak ke Barat sampai ke Laut Kaspia di Utara Iran. Setelah Jenghis Khan meninggal, anak cucunya melanjutkan ambisinya hingga menguasai hampir seluruh Asia, Rusia dan sebagian Eropa.
Di dunia Islam pergerakan pasukkan Mongol tertahan ketika hendak merebut Mesir. Jika Mesir bisa ditaklukannya, maka terbuka bagi bangsa Mongol untuk menghancurkan Al Quds/Yerusalem, Makkah, dan Madinah, sebagaimana mereka menghancurkan Bagdad.
Bangsa Mongol yang mengandalkan kekuatan militer untuk menaklukkan bangsa-bangsa lain di dunia, berhenti hanya sampai pada cita-cita menguasai dunia secara fisik, sebagaimana dicanangkan sang pendirinya Jengis Khan. Dengan kata lain, tidak ada keinginan untuk memajukan ataupun memakmurkan rakyat dari negara-negara yang ditaklukannya.
Itulah sebabnya mereka tidak bisa menghargai aset yang dimiliki oleh sebuah bangsa, baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Bangunan-bangunan indah, karya sastra dan seni, ilmu pengetahuan dan teknologi, semuanya dilemparkan sebagai barang yang tidak berharga dan dianggap tidak berguna.
Sebenarnya Islam di awal perkembangannya juga sangat mengandalkan kekuatan militer. Itulah sebabnya kata-kata: "Islam, jizyah (kompensasi), atau qital(perang)", sebagai pilihan yang selalu ditawarkan oleh panglima pasukan muslim saat hendak memasuki sebuah wilayah baru.
Bedanya, setelah menaklukkan setiap wilayah baru penguasa-penguasa Muslim membuka pintu dan menerima warisan peradaban yang dicapai bangsa-bangsa yang ditaklukannya. Bangunan-bangunan yang indah bukan saja dirawat, akan tetapi dikembangkan sehingga lebih luas dan lebih indah.
Begitu juga ilmu pengetahuan, sain dan teknologinya dipelajari dan dikembangkan. Seni musik, sastra, dan berbagai bentuk seni yang lain terus dikembangkan. Tentu semua ini tidak bisa dilepaskan dari panduan atau tuntunan nilai-nilai Islam yang tertuang dalam Al Qur'an dan keteladanan Rasulullah yang bisa dirujuk dalam hadits.
Hal inilah yang menjelaskan bagaimana umat Islam mendapatkan warisan ilmu kedokteran, matematika, dan astronomi dari bangsa India. Ilmu filsafat, hukum, ilmu sosial, dan pemerintahan dari bangsa Eropa. Sementara seni dalam berbagai bentuknya didapat dari bangsa Persia. Selanjutnya teknologi pembuatan kertas, mesiu, dan keramik dipelajari dari China.
Hal ini pula yang menjelaskan mengapa kita sulit untuk menunjuk mana ilmu yang bersumber dari Islam dan mana yang bukan. Demikian pula dalam bidang sastra dan seni, mana yang disebut dengan seni, sastra, atau musik Islam.
Yang paling kentara bisa dilihat dalam seni bangunan atau arsitektur. Lengkungan masjid atau istana di Andalusia (Spanyol), beda dengan yang bisa dilihat di Turki, dan beda lagi di Persia, juga di India. Akan tetapi semuanya dapat dikategorikan sebagai arsitektur Islam.
Dengan kalimat yang sederhana dapat disimpulkan bahwa Islam mendorong umatnya untuk membangun peradaban, sementara bangsa Mongol tidak.
Islam membawa misi untuk menjaga, merawat, dan membangun setiap jengkal tanah di muka bumi yang diamanhkan Tuhan, kemudian melindungi serta memakmurkan segenap isinya, khususnya umat manusia sebagai bagian dari pengabdian pada yang maha kuasa, seraya berharap imbalan di akhirat kelak nanti.
Wallahua'lam. Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.